waktu menjadikan kita lebih baik |
ruang alam semesta |
Para
ahli astronomi modern dapat mengukur bahwa sejumlah galaksi sedang bergerak
menjauh dengan laju hampir sembilan persepuluh laju cahaya yang sangat tinggi
itu, yakni 300.000 kilometer per detik. Mereka pun belum menemukan tepi luar
alam semesta. Berdasarkan kedua alasan tersebut, mereka yakin bahwa kosmos
tidaklah sesederhana seperti tiupan gas yang memuai seragam dan yang sebagian
telah memadat menjadi galaksi. Tentu saja keyakinan itu mempunyai beberapa alasan
kuat lainnya. Misalnya, andaikan alam semesta ini terbatas dan mempunyai pusat,
dan Bima sakti tidak berdekatan dengan pusat tersebut, maka alam semesta
berserta segala isinya pada satu sisi niscaya sedikit lebih cemerlang daripada
sisi yang lain. Tetapi langit malam diluar bima sakti di satu arah tidak lebih
cemerlang daripada arah lain; oleh karena itu para ahli astronomi terpaksa
menyimpulkan bahwa langit itu terbentang tak terhingga ke segala arah.
Satu-satunya kemungkinan lain ialah bahwa bumi merupakan pusat segala sesuatu.
(bayangkan, sebuah planit menjadi pusat milyaran galaksi dan milyaran milyar
planit lain). Pandangan semacam ini sejak semula telah dikesampingkan oleh oleh
ahli kosmologi, sebab terlalu mustahil. Kedudukan bima sakti dalam alam semesta
tidaklah khusus maupun luar biasa. Pandangan ini bahkan dijadikan salah satu
keyakinan dasar dalam syahadat mereka.
Dari gagasan ini ditarik suatu aksioma dasar yang dikenal sebagai asas
kosmologi; yakni bahwa rata-rata alam semesta haruslah sama dimana-mana dan
disegala arah.
Hal itu
merupakan perluasan dari asas yang lebih dasar lagi, yakni keseragaman alam.
Asas ini merupakan akar segala ilmu. Seandainya alam tidak sama dimana-mana,
maka hukum ilmu hanya akan merupakan hukum setempat, dan tidak berlaku umum.
Jika hal ini benar, hukum manusia setempat yang diperoleh dalam tata surya tak
akan dapat diterapkan diseluruh alam semesta, dan manusia tak akan dapat
menggunakannya untuk memahami alam semesta. Para ilmuwan menggambil sikap bahwa
pada akhirnya ilmu pengetahuan harus menggungkapkan hukum alam semesta; mereka
percaya bahwa alam semesta berperilaku sama di segala tempat; bahwa bumi tidak
mempunyai kedudukan khusus yang istimewa; dan bahwa alam semesta tidak
terbatas. Petunjuk yang dikumpulkan selama ini rupanya memperkuat pernyataan
tersebut.
Dengan
menggunakan hukum fisika dan teori pemuaian Hubble, pada tahun 1940-an para
ahli astronomi mulai menggorek teka-teki tentang asal usul alam semesta. Dua di
antara teori yang paling terkenal adalah teori “dentuman besar” dan teori
“keadaan tetap”.
world space |
Teori
Gamow menimpa dunia astronomi-kosmologi dengan kekuatan yang cukup besar. Buah
pikirannya disambut hangat oleh sejumlah sarjana yang berpikiran terbuka. Malah
ada beberapa orang yang sedemikian terkesan oleh gagasan dentuman besar
sehingga mereka melanjutkan konsep tadi selangkah lagi, dan mengajukan pendapat
bahwa alam semesta telah mengalami rangkaian dentuman besar berulang-ulang;
rangkaian itu akan terus berlangsung, mengembung dan mengkerut dengan tiada
habis-habisnya. Namun tesis Gamow yang mengagumkan itu terlalu radikal untuk
kebanyakan ilmuwan pada zaman itu. Aliran skeptik mencari kelemahan dalam
argumennya. Mereka mengemukakan bahwa keadaan yang diperlukan untuk ledakan
ylem itu hanya dapat menghasilkan hidrogen dan helium. Lalu beredarlah lelucon
dibanyak kampus universitas: “Teori Gamow adalah cara yang bagus sekali untuk
membangun unsur hanya sampai helium saja”. Para pengeritik Gamow juga
menertawakannya, sebab Gamow tak dapat menerangkan, dari mana asal ylem itu.
Namun ahli fisika yang pandai itu membalas dengan mengingatkan semua lawannya
kepada St. Augustinus, yang dalam salah satu tulisannya mencoba menjawab
pertanyaan “Apakah yang diperbuat oleh tuhan sebelum menciptakan langit dan
bumi?” menurut Gamow, orang suci itu menjawab: “Ia sedang membuat neraka untuk
orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu”.
Dua
tahun sesudah Gamow mengumumkan teorinya, Ralph Alpher dan Robert Herman,
rekannya, mengemukakan bahwa masih ada bukti langsung tentang dentuman besar
itu. Mereka meramalkan bahwa radiasi gelombang mikro 5o K dari ylem
masih akan dapat dideteksi, tetapi itu akan teramat jauh. Kedua ahli fisika itu
mencoba memaksakan gagasan mereka tadi pada universitas dan observatorium,
tetapi tidak mendapat pendukung, sebab teleskop radio pada waktu itu terlalu
primitif untuk mendeteksi radiasi seperti itu.
SEMENTARA itu, suatu teori lain tentang asal-usul alam
semesta telah diajukan. Sekelompok ahli kosmologi bangsa inggris, terutama Fred
Hoyle, Herman Bondi dan Thomas Gold, menyajikan teori mereka tentang “keadaan
tetap”. Teori mereka menggambarkan alam semesta sebagai tak terawal dan tak berakhir.
Kata mereka, alam semesta itu kurang lebih sama, bukan hanya dimana-mana,
tetapi juga pada setiap saat. Supaya alam semesta dapat terus-menerus dalam
keadaan tetap seperti itu, bahan baru harus secara sinamung diciptakan dengan
laju yang setara dengan massa sebesar satu atom hidrogen dalam setiap liter
ruang angkasa pada saat setiap 500 milyar tahun. Bahan baru itu menimbulkan
tekanan, yang memaksa alam semesta untuk memuai secara sinambung. Bahan baru
tersebut kemudian memadat menjadi galaksi sehingga mengisi kekosongan yang
justru ditimbulkan oleh pemuaian yang telah ditimbulkannya. Berlainan dengan
teori Gamow, teori keadaan tetap itu dengan teliti menerangkan terciptannya
unsur yang lebih berat dari pada hidrogen dan helium: unsur berat terbentuk
didalam bintang.
Karena gagasan keadaan tetap itu menghasilkan banyak
pertanyaan yang tegas dan tak mendua arti tentang alam semesta, lagi pula tidak
menuju kesimpulan bahwa alam semesta tercipta dalam satu denyaran, maka
banyaklah ilmuwan yang menganggap teori itu menarik. Tetapi karena teori
tersebut menuntut supaya alam semesta semakin meluas dengan tak terhingga,
tanpa perlu mengganti kembali pertambahan dan massa tenagannya, maka banyak
ilmuwan lain menggangapnya tidak menarik. Seperti halnya teori Dentuman Besar,
teori ini pun membuat orang kurang merasa enak, sebab mengandaikan terciptanya
materi dan ketiadaan.
Pertengkaran antara para ahli kosmologi Dentuman Besar
dan Keadaan Tetap berkecamuk bertahun-tahun lamanya. Pada akhir tahun 1950-an
para pembela Keadaan Tetap agak mundur, ketika para ahli astronomi mulai
mendeteksi sumber radio yang jauh. Para pengamat menemukan bahwa sumber radio
kuat di kawasan alam semesta yang jauh ternyata lebih banyak daripada dikawasan
yang dekat. Sumber tersebut ialah galaksi radio dan benda mirip bintang yang
dinamakan quasar; jarak taksirannya menunjukan bahwa quasar termasuk benda yang
tertua dalam alam semesta. Andaikata taksiran tentang umur itu benar, maka
sumber radio yang kuat tadi jumlahnya jauh lebih banyak sewaktu alam semesta
masih muda. Dan umpama itu benar, maka salahlah gagasan Keadaan Tetap, sebab
dasar utamanya ialah bahwa alam semesta tidak pernah berubah. Tetapi meskipun
dihadapkan dengan kenyataan ini, banyak pembela Keadaan Tetap masih enggan juga
untuk menyerah.
Kemudian bukti yang menentukan dan yang menguntungkan
bagi Dentuman Besar akhirnya datang pada tahun 1965. Dua insinyur, Arno Penzias
dan Robert Wilson, secara kebetulan menemukan radiasi gelombang mikro yang
sudah meramalkan oleh Alpher dan Herman 17 tahun sebelumnya. Dalam usahanya
untuk meniadakan ganguan interferensi dalam teleskop radio mereka, Penzias dan
Wilson mendinginkan alat penerimanya dengan helium cair sampai suhu beberapa
derajat di atas nol mutlak. Mereka masih menemukan desis yang tersisa pada suhu
2,75o K; kekuatannya seratus kali lebih hebat daripada yang mereka
duga, dan desis ini merata diseluruh langit, siang maupun malam. Pada tahun itu
baru saja disajikan suatu kertas kerja penting, yang memaparkan gagasan seorang
ahli fisika bernama Robert Dicke. Tanpa mengetahui karya Alpher dan Herman
tadi, Dicke berkesimpulan seperti Alpher dan Herman, bahwa radiasi gelombang
mikro yang tersisa dari Dentuman Besar masih ada. Namun Dicke menghitung bahwa
penyinaran itu hanya akan menyejuk sampai 3o di atas nol mutlak
saja; ini 2o dibawah ramalan pendahulunya. Ketika Penzias dan Wilson
mendengar ramalan Dicke, mereka sadar bahwa riuh dalam alat penerima mereka
adalah peninggalan masa lampau – bukti bahwa Dentuman Besar benar benar
terjadi. Jika alam semesta ini memuai dalam masa yang menyusul suatu ledakan
raksasa – Dentuman Besar – bagaimanakah masa depannya? Jawabnya tergantung pada
bentuk alam semesta. Hampir semua hipotese tentang bentuk itu, bagaimana pun
juga, didasarkan pada dua teori kenisbian Einstein.
Teori Einstein yang pertama, yakni Teori Kenisbian
Khusus, muncul pada tahun 1905. Teori ini lahir dari pemikiran kembali secara
asasi tentang konsep ruang dan waktu. Ini pun ditunjang oleh suatu penemuan
luar biasa oleh Albert Micholson, seorang ahli fisika bangsa Amerika, dalam
rangka suatu percobaan yang dilakukannya dengan cahaya. Michelson bernalar
bahwa jika seberkas cahaya dipancarkan menurut jurusan gerak bumi, dorongan
tambahan yang diperoleh dari gerak bumi itu biasanya akan sedikit mempercepat
cahaya tersebut. Lain halnya apabila cahaya itu dipancarkan menyamping,
misalnya dengan disudut siku-siku. Seperti kita ketahui, jika seseorang yang
berdiri dibagian depan kereta api yang sedang bergerak melemparkan sebuah bola
kemuka, maka bola itu tidak hanya mendapat gaya dorong lemparan orang tersebut,
tetapi juga gerak maju kereta api yang mendukungnya. Demikian pula, jika bola
dilemparkan dari bagian belakang kereta api, maka bila ditinjau dari bumi,
sangat berkuranglah kecepatan sebenarnya. Yang menimbulkan keheranan Michelson
ialah bahwa kecepatan cahaya tadi terbukti sama sekali tidak bergantung pada
gerak bumi. Bagaimana pun juga seksamanya pengukuran berkas cahaya tersebut,
dan ke jurusan mana pun cahaya itu di pancarkan, semuanya berkecepatan sama –
300.000 kilometer tiap detik.
Kenyataan bahwa cahaya tidak kehilangan maupun memperoleh
tambahan laju dari gerak sumber, secara logis mau tidak mau tentu membawa
beberapa akibat yang mengherankan. Misalnya, andaikan ada dua orang pengamat
berlari saling berpapasan dengan kecepatan tinggi, dan tepat pada saat mereka
berpapasan, terjadilah sebuah pancaran cahaya diantara mereka. Karena laju
cahaya tidak dipengaruhi oleh laju sumber maupun penerimannya, maka bagi kedua
pengamat tadi cahaya tersebut harus memancar dengan laju yang sama kesegala
arah. Sesudah selang waktu tertentu, tiap pengamat, dengan bantuan cermin yang
diletakkan secara tepat, dapat membuktikan bahwa dia ada di pusat bola terang
tempat meluasnya cahaya tadi. Tetapi pada saat itu kedua pengamat tadi sudah
terpisah oleh jarak. Bagaimana mungkin kedua pengamat itu berada dipusat bola
yang sama, yakni tempat memancarnya cahaya tadi?
Einstein berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk
mempertemukan perbedaan titik pandang antara pengamat yang saling menjauhi atau
saling mendekati dengan laju sepersekian laju cahaya ialah mengakui bahwa alat
pengukur masing-masing pengamat mencatat jarak, waktu dan massa secara
berlainan. Massa benda yang bergerak cepat harus bertambah – tepat seperti apa
yang terjadi dengan zarah pada pemacu atom. Pada saat yang bersamaan, panjang
suatu benda mengerut searah dengan gerakannya, dan arah hadapnya juga menjadi
miring. Andaikata saja sebuah kotak dadu bergerak cepat melewati seorang
pengamat dengan laju hampir setingkat laju cahaya, dan sedemikian rupa sehingga
ketika tepat menghampiri pengamat, benda itu terlihat dari sisinya – hanya satu
dari keenam isinya saja yang terlihat. Menurut teori Kenisbian Khusus, sisi itu
akan terlihat sebelum saatnya. Alhasil, kotak itu melintas sudut menyudut, dan
sekaligus memperlihatkan dua sisi, masing-masing mengerut seolah-olah terlihat
secara perspektif.
ALIRAN waktu benda yang bergerak cepat pun akan
dipengaruhi, sehingga jam dan proses atomnya akan berjalan lebih lamban. Bahwa
hal ini sungguh-sungguh terjadi juga diperlihatkan dalam pemacu atom. Zarah
yang tak stabil dan berumur pendek akan bertahan lebih panjang jika zarah itu
bergerak cepat; lain halnya jika hanya diam ditempat atau hanya berjalan
lambat. Zarah tersebut juga memperlambat pancaran denyut tenaganya, dan
akibatnya, memperbesar pengeseran Doppler pada radiasi yang dihasilkan. Bertambahnya
pengeseran Doppler akibat perlambatan aliran waktu ini harus ikut
diperhitungkan dalam menafsirkan cahaya galaksi jauh. Galaksi radio 3C295,
misalnya, memperlihatkan pengeseran Doppler yang biasanya setara dengan
kecepatan menjauh sebesar setengah laju cahaya. Tetapi karena pergeserah merah
pada galaksi 3C295 itu telah diperbesar oleh perlambatan aliran waktu, maka
menurut Kenisbian Khusus kecepatan menjauh ini sesungguhnya hanya sedikit
diatas sepertiga laju cahaya.
Dalam Kenisbian Khusus, Einstein memberikan aturan untuk
menghubungkan pengukuran sejumlah pengamat yang bergerak dalam garis lurus
dengan kecepatan tetap. Dalam Kenisbian Umum, Einstein tidak hanya
menghubungkan pengukuran sejumlah pengamat yang bergerak tetap dalam garis
lurus, tetapi juga pengamat yang kecepatanya berubah-ubah dalam lintasan yang
melengkung. Untuk dapat melakukan hal itu, Einstein harus memperhitungkan lagi
dua sifat dasar materi: yakni kelembaman (ineersia), yakni sifat benda untuk
selalu melawan perubahan arah gerakan; dan sifat lain ialah gravitasi, yakni
sifat benda untuk selalu mengubah kecepatan dan melengkungan lintasannya karena
kehadiran benda lain dalam alam semesta. Setelah mempertimbangkannya secara
saksama, Einstein menyimpulkan bahwa dua sifat tersebut harus sama: kelembaman
adalah Gravitasi, dan bahwa kedua sifat itu timbul karena pengaruh materi
terhadap ruang tempat materi itu berada.
DALAM Kenisbian Khusus, Einstein harus meniadakan konsep
ruang mutlak, agar dapat menerima hakekat cahaya yang sebenarnya. Dalam
Kenisbian Umum, dia melangkah lebih jauh. Kehadiran materi dalam ruang selalu
menimbulkan lengkungan medan gravitasi kelembaman; inilah yang membuat benda
langit berbentuk bola, dan yang menyebabkan lintasan satelit mengikuti garis
lingkaran atau elips. Dalam keadaan demikian, Einstein tidak melihat faedah
untuk berpegang teguh pada gagasan abstrak bahwa ruang itu terbentang menurut
garis lurus dan tunduk pada aturan teorema geometri Euklides. Dia tidak melihat
alasan mengapa ruang harus mempunyai sifat geometri, selain sifat geometri yang
ditentukan oleh kehadiran materi.
Setelah mencapai kesimpulan semacam itu, Einstein mungkin
tak akan melangkah lebih jauh lagi, kalau saja tak ada geometri bukan-Euklides
yang bermatra jamak, yakni suatu cabang matematika musykil yang telah
dikembangkan dengan cermat oleh George Friedrich Riemann ( 1826 – 1866 ),
seorang Jerman yang berotak cemerlang.
Geometri Riemann merupakan perluasan menyeluruh dari ilmu ukur biasa. Geometri
ini memperluas matematika tentang lengkung yang bermatra dua, dan bidang
lengkung yang bermatra tiga, sampai persamaan yang juga melukiskan “ruang
lengkung” bermatra empat yang tidak tampak, “ruang hiper” lengkung dengan lima
matra, bahkan “ruang n” lengkung dalam matra berapa saja. Dengan menggunakan geometri Riemann, Einstein
dapat melukiskan medan gravitasi di sekeliling materi. Berdasarkan geometri
tersebut, segala pengaruh gerak yang mengakibatkan perubahan aneh dalam hal
waktu, panjang dan massa yang ditemui dalam Kenisbian Khusus dapat diterangkan hanya
sebagai sifat geometri ruang setempat. Matra tinggi, lebar, dalam, waktu dan
massa, berbeda-beda antara tempat yang satu dan tempat yang lain dalam alam
semesta, tetapi perbedaan tersebut hanya merupakan pencerminan lengkung
geometri kosmik yang bermatra jamak itu. Dengan memperhitungkan
perbedaan-perbedaan atau kebermatraan (dimensionalitas) kosmos dengan cara itu,
Einstein dapat merumuskan persamaan-persamaan ilmu fisika, sehingga dapat
diterapkan pada setiap pengamat dalam segala macam keadaan gerak diseluruh kawasan
ruang-waktu yang bermatra empat, dan bahkan dalam ruang-materi-waktu yang
bermatra lima.
Membayangkan geometri yang bermatra empat atau lima itu
bukan saja sukar, tetapi bahkan mustahil. Logika volume atau ruang bermatra
jamak itu hanya nyata dalam persamaan, tetapi kabur dalam pandangan mata; sebab
mata manusia itu biasannya hanya dapat mengindrakan permukaan bermatra dua –
misalnya bentangan alam datar atau sosok kursi. Kalau orang dihadapkan pada
masalah pengelihatan yang benar-benar bermatra tiga, seperti misalnya obyek
cemerlang yang berada sangat jauh didepan pesawat terbang, maka pengelihatan
orang itu akan menjadi kacau. Para penerbang sering sekoyong-koyong membuat
gerakan membelok atau menukik yang membahayakan, padahal benda yang dihindarinya
itu adalah sebuah meteor yang sebenarnya masih berjarak beratus-ratus kilometer
didepannya.
UNTUK memahami kosmos yang bermatra jamak, ahli
matematika mengikuti pemahaman aljabar secara buta, dan mempunyai keuntungan
bila dibandingkan dengan orang lain yang tak terlatih dan menuruti“refleks“
saja. Yang di dapati Einstein dalam memikirkan Kenisbian Umum ialah bahwa ruang
merupakan volume lengkung sebagai akibat kehadiran materi dalam lekuk
setempat yang bermatra tiga. Secara visuil, ruang dapat diibaratkan sebagai
lembaran karet. Adapun benda-benda langit yang terletak didalam ruang tersebut
dapat diumpamakan sebagai peluru kanon yang membentuk lekuk besar karena
bobotnya, sedangkan benda-benda yang lebih kecil dan ringan menggelinding di
sekitarnya seperti kelereng. Lekuk semacam itu menggambarkan lengkung setempat
di dalam ruang. Kebenaran mengenai adanya lengkung setempat ini dibuktikan oleh
kenyataan bahwa cahaya bintang – yakni garis paling lurus yang dapat
dibayangkan dalam alam semesta – dibelokkan sedikit, apabila cahaya bintang itu
melewati medan gravitasi matahari. Dengan perkataan lain, kehadiran matahari
melengkungkan ruang di sekitarnya.
Sebagai tambahan atas lengkung setempat yang disebabkan
gumpalan materi, Einstein menganggap bahwa alam semesta mempunyai lengkung
menyeluruh. Dari tempat satu ke tempat yang lain cahaya bintang memintas
mengambil jalan terdekat, menempuh jalan melintasi medan gravitasi setempat
yang ditimbulkan oleh bintang dan galaksi, dan mungkin berakhir dengan arah
yang sedikit berbeda dari arah yang semula ditempuhnya. Secara garis besar,
garis yang ditempuh tadi berbentuk lengkungan, mungkin berupa lengkung“tertutup“,
yang kembali ketempat semula seperti lingkaran, atau merupakan lengkung“terbuka“
yang tak pernah kembali ketempat asal. Lagi pula, belitan-belitan kecil
sepanjang lintasan berkas cahaya bintang tadi dapat saling meniadakan, hingga
cahaya itu sama sekali tidak melengkung, dan secara keseluruhan ruang adalah
lurus. Dengan memperhitungkan segala kemungkinan ini, Einstein menyimpulkan
bahwa ruang semesta harus mengikuti salah satu dari tiga pola matematika: yakni
melengkung positif, melengkung negatif, atau tidak melengkung. Lengkung ruang
positif adalah serupa dengan lengkungan pada permukaan bola, akan tetapi dengan
tambahan satu matra lagi. Ruang yang tidak berlengkung adalah ruang Euklides
biasa. Adapun ruang Euklides adalah ruang yang begitu dihayati oleh seseorang
yang hidup di dalam kamar segi empat dan berdinding rata. Ruang berlengkung
negatif barangkali yang paling sukar dibayangkan. Bidang bermatra dua yang
setara dengan lengkung negatif adalah permukaan pada pelana kuda – akan tetapi
pelana itu harus diperluas sedemikian rupa, sehingga bagian depan maupun bagian
belakangnya melengkung ke atas sampai tak terhingga jauhnya, demikian pula
kedua belah sisi sampingnya pun melengkung ke bawah sampai tak terhingga juga.
Dalam masing-masing ruang berlengkung itu, cahaya selalu
mengambil jalan terpendek antara dua buah titik. Dalam pengertian matematika,
aturan jalan seperti itu dikatakan mengikuti geodesik. Pada permukaan bumi, geodesik merupakan
lingkaran besar, seperti garis penerbangan lintas samudera. Dalam ruang yang
berlengkuk positif, geodesik tadi merupakan lengkungan tertutup, dan bentuknya
berupa lingkaran atau elips, sedangkan dalam ruang yang berlengkuk negatif,
geodesik tadi merupakan lengkungan terbuka, dan bentuknya merupakan hiperbola
atau parabola. Dalam ruang Euklides, geodesik itu berupa garis lurus.
Oleh karena cahaya mengikuti geodesik, maka seseorang
yang melihat jauh ke dalam alam semesta seharusnya dapat menentukan lengkung
ruang dengan cara menyelidiki tebaran galaksi. Sudut pengelihatan orang yang
berada pada ruang berlengkuk positif sama keadaanya dengan sudut pengelihatan
orang di Kutub Utara bumi yang memandang ke arah selatan melalui dua buah garis
bujur. Pada mulanya jarak kedua garis bujur tersebut bertambah lebar, tidak
ubahnya seperti garis lurus biasa. Akan tetapi, sedikit demi sedikit,
pertambahan jarak itu tidak secepat seperti pertambahan yang seharusnya
terjadi. Jika orang yang berada di Kutub Utara tadi dapat melihat ke sebrang
khatulistiwa, maka jarak antara garis bujur itu mulai mengecil, dan akhirnya
menjadi nol lagi apabila sampai di Kutub Selatan. Demikianlah juga kalau
seseorang melihat semakin jauh ke dalam ruang yang berlengkung positif: luas
daerah yang teramati menjadi lebih kecil apabila dibandingkan dengan luas
daerah dalam ruang tak berlengkung yang sama jauhnya dari peninjau. Lagi pula,
pertambahan jumlah galaksi yang terungkap di dalam setiap pertambahan jarak
yang dicapai oleh teleskop akan menjadi lebih kecil daripada yang diharapkan,
dan pada akhirnya jumlah itu akan menurun. Dalam kenyataannya, pengamat tadi
akhirnya akan melihat kawasan alam semesta disebrang kutub lain: apabila
pengamat tadi mau menghitung jumlah galaksi yang ada disebrang kutub itu, lebih
mudah apabila dia membalikkan badannya, dan melihat ke arah yang berlawanan. Dengan
teleskop yang cukup tangguh seorang ahli astronomi dalam ruang yang berlengkung
positif seharusnya dapat memandang ke depan dan melihat satu keliling kosmos,
dan akan dapat melihat belakang kepalanya sendiri. Namun oleh karena cahaya itu
memerlukan waktu untuk merambat, maka yang sebenarnya dilihat mungkin hanyalah
ruangan yang ditempati kepalanya beberapa milyar tahun yang lalu.
DALAM ruang yang berlengkung positif, semakin jauh
pandangan kita ke dalam angkasa, maka luas daerah dan jumlah galaksi pun
semakin berkurang. Akan tetapi dalam ruang berlengkung negatif yang bertipe
pelana tadi, semakin jauh pandangan kita ke dalam angkasa, maka luas daerah dan
jumlah galaksi makin melimpah. Asas geometri ini dengan mudah dapat dibayangkan
dengan cara menekan pelana yang berlengkung negatif dan tempurung yang berlengkung
positif pada bidang datar. Setelah ditekan, pelana tersebut akan menumpuk
menjadi lipatan-lipatan, oleh karena bidangnya lebih luas daripada bidang
datar, sedangkan tempurung tersebut akan terpecah-pecah, oleh karena bidangnya
lebih sempit daripada bidang datar.
Selama tahun 1930-an Hubble telah mencoba menentukan
lengkungan kosmos dengan menghitung galaksi di setiap lapisan bola angkasa yang
semakin redup. Akan tetapi dia tidak berhasil, sebab pengukuran jaraknya kurang
cermat dan karena metode penghitungan galaksi, bagaimana pun juga, tidak akan
mengungkapkan lengkungan alam semesta dengan nyata, kecuali kalau penghitungan
galaksi tadi dilakukan sampai batas cakrawala alam semesta.
Dengan dasar persamaan-persamaan Einstein, H.P. Robertson
dari Institut Teknologi Kalifornia (CALTECH), dan kemudian juga Allan Sandage
dari Palomar, menggembangakan cara pengamatan untuk menentukan lengkungan atau
ketidaklengkungan alam semesta. Sesudah alam semesta memuai, pada suatu ketika
tentu akan mengalami perlambatan, oleh karena gaya tarik gravitasi antar
galaksi akan memperlambat gerak saling menjauh antar galaksi tersebut. Didalam alam
semesta yang berlengkung positif, yakni yang melengkung ke dalam, perlambatan
tadi akan lebih kuat apabila dibandingkan dengan perlambatan pada alam semesta
Euklides yang datar. Perlambatan di dalam alam semesta yang berlengkung positif
itu pun juga lebih kuat bila dibandingkan dengan perlambatan pada alam semesta
berbentuk pelana yang berlengkung negatif. Ukuran perlambatan itu dapat dilihat
dari laju pemuaian alam semesta pada masa lalu. Jika laju pemuaian di masa lalu
itu ternyata lebih besar daripada laju pemuaian alam semesta di masa sekarang,
maka hal itu berarti bahwa alam semesta mengalami gaya perlambatan yang cukup
besar, dan lengkung alam semesta adalah positif. Kalau perlambatan alam semesta
hanya kecil saja, maka itu berarti bahwa lengkungnya mungkin nol. Akan tetapi
kalau sama sekali tidak ada perlambatan, hal itu berarti lengkungnya negatif.
SUATU hal yang cukup mengagumkan ialah bahwa besar
perlambatan di masa lalu merupakan sesuatu yang dapat diamati pada masa
sekarang. Kemungkinan itu disebabkan oleh karena bagi kita, memandang jauh ke
alam semesta itu juga berarti menengok ke masa lalu. Di dekat batas pengelihatan
teleskop 500 sentimeter di Palomar, umpamanya, terlihat galaksi yang cahayanya
telah meninggalkan galaksi tersebut lebih dari lima milyar tahun yang lalu,
yakni pada waktu jaraknya baru lima milyar tahun cahaya. Besar pergeseran
Doppler yang dapat diukur dari cahaya yang terpancar oleh galaksi tersebut
memperlihatkan kecepatan menjauh pada waktu itu, dan kecerlangan cahayanya
mengungkapkan jarak galaksi tersebut. Di dalam alam semesta yang memuai secara
seragam, galaksi pada jarak sejauh itu seharusnya berlari dengan kecepatan agak
terbatas. Akan tetapi cahayanya dari masa lalu ternyata memperlihatkan bahwa
dahulu galaksi tersebut bergerak dengan lebih cepat. Jadi, selisih kecepatan
itulah yang menunjukkan besar gaya gravitasi yang sejak dahulu memperlambat
pemuaian alam semesta. Setelah memperhitungkan besar perlambatan tadi dengan
persamaan Einstein, para ahli astronomi dapat mengetahui macam lengkungan alam
semesta: apakah alam semesta ini berlengkung positif, atau negatif, ataukah
tidak berlengkung.
Sampai saat sekarang untuk mempelajari cahaya lemah yang
datang dari galaksi yang bergerak menjauh dengan sangat cepat, pengukuran yang
telah dilakukan dengan susah payah – dan tidak lepas dari kesalahan –
menunjukkan bahwa alam semesta mungkin berlengkung positif. Apabila benar
demikian, itu berarti bahwa alam semesta ini tidak bertepi, akan tetapi
terbatas; alam semesta ini dapat terbentang jauh tak terhingga menuju segala arah,
namun massanya terbatas. Manusia atau makhluk cerdas lainnya yang melihat alam
semesta dari salah satu galaksi akan dapat melihat jalan cahaya yang melengkung
menuju diri sendiri, dan berjalan menelusuri waktu, melengkung kembali ke tempat
asal mulanya.
Oleh karena lengkungan alam semesta itu berlaku di segala
arah, maka setiap galaksi dikelilingi oleh ruangan alam semesta secara sama dan
tak terbatas; namun alam semesta sendiri bukanlah tak terbatas. Sebuah galaksi
di dalam alam semesta yang berlengkung positif tadi dapat diibaratkan sebagai
sebuah titik di permukaan bumi. Titik tersebut dari segala arah dikelilingi
oleh bentangan permukaan bumi secara sama dan tak terbatas, akan tetapi besar
bumi sendiri bukanlah tak terbatas.
Masih ada hal yang lebih aneh lagi, yakni bahwa secara
teoritis alam semesta yang berlengkung positif tadi dapat berkembang kempis. Seandainya
jumlah seluruh massa dalam alam semesta ini ternyata cukup besar, maka bahan
yang tersebar di seluruh alam semesta ini akan terkekang oleh gaya tarik
gravitasinya sendiri, dan akhirnya pemuaian alam semesta pun akan terhenti. Sesudah
jangka waktu yang tak terhingga panjangnya, mungkin lama setelah padamnya
bintang-bintang terakhir di dalam galaksi, alam semesta akan mulai mengerut lagi.
Beberapa milyar tahun berikutnya, alam semesta yang mengerut tadi akan mencapai
keadaan sangat padat, sangat panas, dan segala bahanya akan terurai sekali lagi
menjadi proton dan neutron dalam bentuk gas, dan Dentuman Besar pun akan
terjadi sekali lagi. Dan berkat dentuman itu, selanjutnya alam semesta akan
memuai kembali: mengulangi daurnya, dan terus-menerus memuai serta mengerut
dengan tiada habis-habisnya, bagaikan jantung yang tak berdenyut atau paru-paru
yang bernafas.
PADA suatu ketika para ahli astronomi yang menyukai
konsep Dentuman Besar pernah menyangka bahwa alam semesta mungkin
sungguh-sungguh mengerut serta meledak lagi. Namun demikian pada saat sekarang
ini kebanyakan ahli astronomi mengira bahwa kemungkinan mengerutnya alam
semesta itu sangat kecil. Meskipun barangkali masih terdapat lebih banyak bahan
yang belum terdeteksi, namun data yang sekarang ada menunjukkan bahwa jumlah
bahan yang terkandung dalam alam semesta ini 10 kali terlalu kecil untuk dapat
menyebabkan pengerutan. Lagi pula, pada tahun 1970-an satelit kopernikus telah
menemukan bahwa deuterium hanya dapat bertahan dalam keadaan yang kerapatannya
rendah, maka dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa alam semesta tidak
cukup padat untuk mengerut.
Dari segi kepentingan umat manusia, alam semesta yang
dikemukakan oleh para ahli kosmologi tadi nampaknya cukup suram. Memang masih
dapat dibayangkan bahwa keturunan manusia pada masa depan yang amat jauh akan
selamat dari mala petaka yang ditimbulkan oleh penggembungan matahari yang
bernyala-nyala pada lima atau enam milyar tahun yang akan datang. Mereka itu
akan menyelamatkan diri dengan berboyong ke planit-planit lain yang mengedari
bintang-bintang di dalam Bima Sakti. Akan tetapi berboyong lebih jauh lagi,
yakni sampai memasuki kawasan galaksi lain, pastilah mustahil. Sekalipun manusia
dapat pergi dengan mengendarai sinar cahaya, dia harus berjalan selama dua juta
tahun, itu pun hanya untuk mencapai kawasan galaksi andromeda yang begitu
dekat. Maka dari itu kelak, apabila bintang-bintang yang paling kecil didalam
Bima Sakti telah padam, kehidupan seperti yang kita kenal sekarang ini tentu
sudah musnah sama sekali.
0 Comments