Ruang, Waktu dan Alam Semesta

waktu menjadikan kita lebih baik
Dalam banyak segi, alam semesta yang diungkapkan oleh Edwin Hubble merupakan sari pati kesederhanaan. Alam semesta memuai seperti gelembung gas panas yang mendadak terlepas dalam ruang hampa. Setiap galaksi adalah bagaikan sebutir molekul dalam gas itu. Selama kabut itu memuai, maka dalam jangka waktu tertentu jarak dari setiap molekul dari molekul yang lain menjadi dua kali lipat. Pada akhir jangka waktu kedua, jaraknya menjadi dua kali yang pertama, demikianlah proses itu berlangsung terus dengan tak henti-hentinya. Selama pemuaian seragam ini berlangsung, pengamat teoritis dari luar selalu dapat mengatakan bahwa molekul di pusat kabut itu tidak bergerak. Tetapi pengamat dari molekul pusat itu sendiri tak akan dapat mengatakan bahwa dia berada dalam keadaan diam. Molekul yang berdekatan dengannya terlihat berlarian keluar, sehingga memberikan kesan bahwa seolah-olah pengamat itu menaiki molekul yang sedang bergerak. Hanya kalau dia dapat melihat ke luar sampai tepi kabut, dan menghitung molekul disegala arah, akan yakinlah bahwa dia ada dipusat kabut.
ruang alam semesta
Para ahli astronomi modern dapat mengukur bahwa sejumlah galaksi sedang bergerak menjauh dengan laju hampir sembilan persepuluh laju cahaya yang sangat tinggi itu, yakni 300.000 kilometer per detik. Mereka pun belum menemukan tepi luar alam semesta. Berdasarkan kedua alasan tersebut, mereka yakin bahwa kosmos tidaklah sesederhana seperti tiupan gas yang memuai seragam dan yang sebagian telah memadat menjadi galaksi. Tentu saja keyakinan itu mempunyai beberapa alasan kuat lainnya. Misalnya, andaikan alam semesta ini terbatas dan mempunyai pusat, dan Bima sakti tidak berdekatan dengan pusat tersebut, maka alam semesta berserta segala isinya pada satu sisi niscaya sedikit lebih cemerlang daripada sisi yang lain. Tetapi langit malam diluar bima sakti di satu arah tidak lebih cemerlang daripada arah lain; oleh karena itu para ahli astronomi terpaksa menyimpulkan bahwa langit itu terbentang tak terhingga ke segala arah. Satu-satunya kemungkinan lain ialah bahwa bumi merupakan pusat segala sesuatu. (bayangkan, sebuah planit menjadi pusat milyaran galaksi dan milyaran milyar planit lain). Pandangan semacam ini sejak semula telah dikesampingkan oleh oleh ahli kosmologi, sebab terlalu mustahil. Kedudukan bima sakti dalam alam semesta tidaklah khusus maupun luar biasa. Pandangan ini bahkan dijadikan salah satu keyakinan dasar dalam syahadat mereka.  Dari gagasan ini ditarik suatu aksioma dasar yang dikenal sebagai asas kosmologi; yakni bahwa rata-rata alam semesta haruslah sama dimana-mana dan disegala arah.
Hal itu merupakan perluasan dari asas yang lebih dasar lagi, yakni keseragaman alam. Asas ini merupakan akar segala ilmu. Seandainya alam tidak sama dimana-mana, maka hukum ilmu hanya akan merupakan hukum setempat, dan tidak berlaku umum. Jika hal ini benar, hukum manusia setempat yang diperoleh dalam tata surya tak akan dapat diterapkan diseluruh alam semesta, dan manusia tak akan dapat menggunakannya untuk memahami alam semesta. Para ilmuwan menggambil sikap bahwa pada akhirnya ilmu pengetahuan harus menggungkapkan hukum alam semesta; mereka percaya bahwa alam semesta berperilaku sama di segala tempat; bahwa bumi tidak mempunyai kedudukan khusus yang istimewa; dan bahwa alam semesta tidak terbatas. Petunjuk yang dikumpulkan selama ini rupanya memperkuat pernyataan tersebut.
Dengan menggunakan hukum fisika dan teori pemuaian Hubble, pada tahun 1940-an para ahli astronomi mulai menggorek teka-teki tentang asal usul alam semesta. Dua di antara teori yang paling terkenal adalah teori “dentuman besar” dan teori “keadaan tetap”.
world space
George Gamow, seorang ahli fisika amerika kelahiran Rusia, merupakan juru bicara utama untuk teori Dentuman Besar. Gamow menyarankan gagasan bahwa seluruh bahan dan tenaga dalam alam semesta pernah terpadu dalam satu bola padat raksasa. Bola yang terdiri dari neutron dan tenaga pancaran ini dinamainya “Ylem” (diucapkan ailem). Sekitar 18 milyar tahun yang lalu ylem itu tiba-tiba meledak. Ketika terbang ke luar, benda itu berkurang padatnya dan mulai menyejuk dari suhu bermilyar-milyar derajat sampai berjuta-juta derajat saja. Setelah kira-kira mencapai suhu 60 juta derajat, semua neutron secara spontan berubah menjadi proton dan elektron. Tenaga pancaran itu menyebabkan zarah-zarah tersebut bergabung dan membentuk atom hydrogen, atom helium dan seterusnya, sampai pada unsure-unsure terberat. Semua unsure yang dikenal oleh manusia dihasilkan selama setengah jam pertama dalam dentuman besar itu – lebih kurang sama dengan kecepatan rentetan reaksi nuklir dalam bom nuklir yang tengah meledak. Kira-kira selama 30 juta tahun semua atom terus-menerus terkantung-kantung keluar, dan alam semesta pun menyejuk. Setelah suhu alam semesta turun sampai 300o di atas nol mutlak, semua atom mulai bergabung, dan membentuk gas tipis. Kemudian terbentuklah kawasan gas yang kerapatannya tinggi. Itulah bakal galaksi.
Teori Gamow menimpa dunia astronomi-kosmologi dengan kekuatan yang cukup besar. Buah pikirannya disambut hangat oleh sejumlah sarjana yang berpikiran terbuka. Malah ada beberapa orang yang sedemikian terkesan oleh gagasan dentuman besar sehingga mereka melanjutkan konsep tadi selangkah lagi, dan mengajukan pendapat bahwa alam semesta telah mengalami rangkaian dentuman besar berulang-ulang; rangkaian itu akan terus berlangsung, mengembung dan mengkerut dengan tiada habis-habisnya. Namun tesis Gamow yang mengagumkan itu terlalu radikal untuk kebanyakan ilmuwan pada zaman itu. Aliran skeptik mencari kelemahan dalam argumennya. Mereka mengemukakan bahwa keadaan yang diperlukan untuk ledakan ylem itu hanya dapat menghasilkan hidrogen dan helium. Lalu beredarlah lelucon dibanyak kampus universitas: “Teori Gamow adalah cara yang bagus sekali untuk membangun unsur hanya sampai helium saja”. Para pengeritik Gamow juga menertawakannya, sebab Gamow tak dapat menerangkan, dari mana asal ylem itu. Namun ahli fisika yang pandai itu membalas dengan mengingatkan semua lawannya kepada St. Augustinus, yang dalam salah satu tulisannya mencoba menjawab pertanyaan “Apakah yang diperbuat oleh tuhan sebelum menciptakan langit dan bumi?” menurut Gamow, orang suci itu menjawab: “Ia sedang membuat neraka untuk orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu”.
Dua tahun sesudah Gamow mengumumkan teorinya, Ralph Alpher dan Robert Herman, rekannya, mengemukakan bahwa masih ada bukti langsung tentang dentuman besar itu. Mereka meramalkan bahwa radiasi gelombang mikro 5o K dari ylem masih akan dapat dideteksi, tetapi itu akan teramat jauh. Kedua ahli fisika itu mencoba memaksakan gagasan mereka tadi pada universitas dan observatorium, tetapi tidak mendapat pendukung, sebab teleskop radio pada waktu itu terlalu primitif untuk mendeteksi radiasi seperti itu.
            SEMENTARA itu, suatu teori lain tentang asal-usul alam semesta telah diajukan. Sekelompok ahli kosmologi bangsa inggris, terutama Fred Hoyle, Herman Bondi dan Thomas Gold, menyajikan teori mereka tentang “keadaan tetap”. Teori mereka menggambarkan alam semesta sebagai tak terawal dan tak berakhir. Kata mereka, alam semesta itu kurang lebih sama, bukan hanya dimana-mana, tetapi juga pada setiap saat. Supaya alam semesta dapat terus-menerus dalam keadaan tetap seperti itu, bahan baru harus secara sinamung diciptakan dengan laju yang setara dengan massa sebesar satu atom hidrogen dalam setiap liter ruang angkasa pada saat setiap 500 milyar tahun. Bahan baru itu menimbulkan tekanan, yang memaksa alam semesta untuk memuai secara sinambung. Bahan baru tersebut kemudian memadat menjadi galaksi sehingga mengisi kekosongan yang justru ditimbulkan oleh pemuaian yang telah ditimbulkannya. Berlainan dengan teori Gamow, teori keadaan tetap itu dengan teliti menerangkan terciptannya unsur yang lebih berat dari pada hidrogen dan helium: unsur berat terbentuk didalam bintang.
            Karena gagasan keadaan tetap itu menghasilkan banyak pertanyaan yang tegas dan tak mendua arti tentang alam semesta, lagi pula tidak menuju kesimpulan bahwa alam semesta tercipta dalam satu denyaran, maka banyaklah ilmuwan yang menganggap teori itu menarik. Tetapi karena teori tersebut menuntut supaya alam semesta semakin meluas dengan tak terhingga, tanpa perlu mengganti kembali pertambahan dan massa tenagannya, maka banyak ilmuwan lain menggangapnya tidak menarik. Seperti halnya teori Dentuman Besar, teori ini pun membuat orang kurang merasa enak, sebab mengandaikan terciptanya materi dan ketiadaan.
            Pertengkaran antara para ahli kosmologi Dentuman Besar dan Keadaan Tetap berkecamuk bertahun-tahun lamanya. Pada akhir tahun 1950-an para pembela Keadaan Tetap agak mundur, ketika para ahli astronomi mulai mendeteksi sumber radio yang jauh. Para pengamat menemukan bahwa sumber radio kuat di kawasan alam semesta yang jauh ternyata lebih banyak daripada dikawasan yang dekat. Sumber tersebut ialah galaksi radio dan benda mirip bintang yang dinamakan quasar; jarak taksirannya menunjukan bahwa quasar termasuk benda yang tertua dalam alam semesta. Andaikata taksiran tentang umur itu benar, maka sumber radio yang kuat tadi jumlahnya jauh lebih banyak sewaktu alam semesta masih muda. Dan umpama itu benar, maka salahlah gagasan Keadaan Tetap, sebab dasar utamanya ialah bahwa alam semesta tidak pernah berubah. Tetapi meskipun dihadapkan dengan kenyataan ini, banyak pembela Keadaan Tetap masih enggan juga untuk menyerah.
            Kemudian bukti yang menentukan dan yang menguntungkan bagi Dentuman Besar akhirnya datang pada tahun 1965. Dua insinyur, Arno Penzias dan Robert Wilson, secara kebetulan menemukan radiasi gelombang mikro yang sudah meramalkan oleh Alpher dan Herman 17 tahun sebelumnya. Dalam usahanya untuk meniadakan ganguan interferensi dalam teleskop radio mereka, Penzias dan Wilson mendinginkan alat penerimanya dengan helium cair sampai suhu beberapa derajat di atas nol mutlak. Mereka masih menemukan desis yang tersisa pada suhu 2,75o K; kekuatannya seratus kali lebih hebat daripada yang mereka duga, dan desis ini merata diseluruh langit, siang maupun malam. Pada tahun itu baru saja disajikan suatu kertas kerja penting, yang memaparkan gagasan seorang ahli fisika bernama Robert Dicke. Tanpa mengetahui karya Alpher dan Herman tadi, Dicke berkesimpulan seperti Alpher dan Herman, bahwa radiasi gelombang mikro yang tersisa dari Dentuman Besar masih ada. Namun Dicke menghitung bahwa penyinaran itu hanya akan menyejuk sampai 3o di atas nol mutlak saja; ini 2o dibawah ramalan pendahulunya. Ketika Penzias dan Wilson mendengar ramalan Dicke, mereka sadar bahwa riuh dalam alat penerima mereka adalah peninggalan masa lampau – bukti bahwa Dentuman Besar benar benar terjadi. Jika alam semesta ini memuai dalam masa yang menyusul suatu ledakan raksasa – Dentuman Besar – bagaimanakah masa depannya? Jawabnya tergantung pada bentuk alam semesta. Hampir semua hipotese tentang bentuk itu, bagaimana pun juga, didasarkan pada dua teori kenisbian Einstein.
            Teori Einstein yang pertama, yakni Teori Kenisbian Khusus, muncul pada tahun 1905. Teori ini lahir dari pemikiran kembali secara asasi tentang konsep ruang dan waktu. Ini pun ditunjang oleh suatu penemuan luar biasa oleh Albert Micholson, seorang ahli fisika bangsa Amerika, dalam rangka suatu percobaan yang dilakukannya dengan cahaya. Michelson bernalar bahwa jika seberkas cahaya dipancarkan menurut jurusan gerak bumi, dorongan tambahan yang diperoleh dari gerak bumi itu biasanya akan sedikit mempercepat cahaya tersebut. Lain halnya apabila cahaya itu dipancarkan menyamping, misalnya dengan disudut siku-siku. Seperti kita ketahui, jika seseorang yang berdiri dibagian depan kereta api yang sedang bergerak melemparkan sebuah bola kemuka, maka bola itu tidak hanya mendapat gaya dorong lemparan orang tersebut, tetapi juga gerak maju kereta api yang mendukungnya. Demikian pula, jika bola dilemparkan dari bagian belakang kereta api, maka bila ditinjau dari bumi, sangat berkuranglah kecepatan sebenarnya. Yang menimbulkan keheranan Michelson ialah bahwa kecepatan cahaya tadi terbukti sama sekali tidak bergantung pada gerak bumi. Bagaimana pun juga seksamanya pengukuran berkas cahaya tersebut, dan ke jurusan mana pun cahaya itu di pancarkan, semuanya berkecepatan sama – 300.000 kilometer tiap detik.
            Kenyataan bahwa cahaya tidak kehilangan maupun memperoleh tambahan laju dari gerak sumber, secara logis mau tidak mau tentu membawa beberapa akibat yang mengherankan. Misalnya, andaikan ada dua orang pengamat berlari saling berpapasan dengan kecepatan tinggi, dan tepat pada saat mereka berpapasan, terjadilah sebuah pancaran cahaya diantara mereka. Karena laju cahaya tidak dipengaruhi oleh laju sumber maupun penerimannya, maka bagi kedua pengamat tadi cahaya tersebut harus memancar dengan laju yang sama kesegala arah. Sesudah selang waktu tertentu, tiap pengamat, dengan bantuan cermin yang diletakkan secara tepat, dapat membuktikan bahwa dia ada di pusat bola terang tempat meluasnya cahaya tadi. Tetapi pada saat itu kedua pengamat tadi sudah terpisah oleh jarak. Bagaimana mungkin kedua pengamat itu berada dipusat bola yang sama, yakni tempat memancarnya cahaya tadi?
            Einstein berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mempertemukan perbedaan titik pandang antara pengamat yang saling menjauhi atau saling mendekati dengan laju sepersekian laju cahaya ialah mengakui bahwa alat pengukur masing-masing pengamat mencatat jarak, waktu dan massa secara berlainan. Massa benda yang bergerak cepat harus bertambah – tepat seperti apa yang terjadi dengan zarah pada pemacu atom. Pada saat yang bersamaan, panjang suatu benda mengerut searah dengan gerakannya, dan arah hadapnya juga menjadi miring. Andaikata saja sebuah kotak dadu bergerak cepat melewati seorang pengamat dengan laju hampir setingkat laju cahaya, dan sedemikian rupa sehingga ketika tepat menghampiri pengamat, benda itu terlihat dari sisinya – hanya satu dari keenam isinya saja yang terlihat. Menurut teori Kenisbian Khusus, sisi itu akan terlihat sebelum saatnya. Alhasil, kotak itu melintas sudut menyudut, dan sekaligus memperlihatkan dua sisi, masing-masing mengerut seolah-olah terlihat secara perspektif.
            ALIRAN waktu benda yang bergerak cepat pun akan dipengaruhi, sehingga jam dan proses atomnya akan berjalan lebih lamban. Bahwa hal ini sungguh-sungguh terjadi juga diperlihatkan dalam pemacu atom. Zarah yang tak stabil dan berumur pendek akan bertahan lebih panjang jika zarah itu bergerak cepat; lain halnya jika hanya diam ditempat atau hanya berjalan lambat. Zarah tersebut juga memperlambat pancaran denyut tenaganya, dan akibatnya, memperbesar pengeseran Doppler pada radiasi yang dihasilkan. Bertambahnya pengeseran Doppler akibat perlambatan aliran waktu ini harus ikut diperhitungkan dalam menafsirkan cahaya galaksi jauh. Galaksi radio 3C295, misalnya, memperlihatkan pengeseran Doppler yang biasanya setara dengan kecepatan menjauh sebesar setengah laju cahaya. Tetapi karena pergeserah merah pada galaksi 3C295 itu telah diperbesar oleh perlambatan aliran waktu, maka menurut Kenisbian Khusus kecepatan menjauh ini sesungguhnya hanya sedikit diatas sepertiga laju cahaya.
            Dalam Kenisbian Khusus, Einstein memberikan aturan untuk menghubungkan pengukuran sejumlah pengamat yang bergerak dalam garis lurus dengan kecepatan tetap. Dalam Kenisbian Umum, Einstein tidak hanya menghubungkan pengukuran sejumlah pengamat yang bergerak tetap dalam garis lurus, tetapi juga pengamat yang kecepatanya berubah-ubah dalam lintasan yang melengkung. Untuk dapat melakukan hal itu, Einstein harus memperhitungkan lagi dua sifat dasar materi: yakni kelembaman (ineersia), yakni sifat benda untuk selalu melawan perubahan arah gerakan; dan sifat lain ialah gravitasi, yakni sifat benda untuk selalu mengubah kecepatan dan melengkungan lintasannya karena kehadiran benda lain dalam alam semesta. Setelah mempertimbangkannya secara saksama, Einstein menyimpulkan bahwa dua sifat tersebut harus sama: kelembaman adalah Gravitasi, dan bahwa kedua sifat itu timbul karena pengaruh materi terhadap ruang tempat materi itu berada.
            DALAM Kenisbian Khusus, Einstein harus meniadakan konsep ruang mutlak, agar dapat menerima hakekat cahaya yang sebenarnya. Dalam Kenisbian Umum, dia melangkah lebih jauh. Kehadiran materi dalam ruang selalu menimbulkan lengkungan medan gravitasi kelembaman; inilah yang membuat benda langit berbentuk bola, dan yang menyebabkan lintasan satelit mengikuti garis lingkaran atau elips. Dalam keadaan demikian, Einstein tidak melihat faedah untuk berpegang teguh pada gagasan abstrak bahwa ruang itu terbentang menurut garis lurus dan tunduk pada aturan teorema geometri Euklides. Dia tidak melihat alasan mengapa ruang harus mempunyai sifat geometri, selain sifat geometri yang ditentukan oleh kehadiran materi.
            Setelah mencapai kesimpulan semacam itu, Einstein mungkin tak akan melangkah lebih jauh lagi, kalau saja tak ada geometri bukan-Euklides yang bermatra jamak, yakni suatu cabang matematika musykil yang telah dikembangkan dengan cermat oleh George Friedrich Riemann ( 1826 – 1866 ), seorang Jerman  yang berotak cemerlang. Geometri Riemann merupakan perluasan menyeluruh dari ilmu ukur biasa. Geometri ini memperluas matematika tentang lengkung yang bermatra dua, dan bidang lengkung yang bermatra tiga, sampai persamaan yang juga melukiskan “ruang lengkung” bermatra empat yang tidak tampak, “ruang hiper” lengkung dengan lima matra, bahkan “ruang n” lengkung dalam matra berapa saja. Dengan menggunakan geometri Riemann, Einstein dapat melukiskan medan gravitasi di sekeliling materi. Berdasarkan geometri tersebut, segala pengaruh gerak yang mengakibatkan perubahan aneh dalam hal waktu, panjang dan massa yang ditemui dalam Kenisbian Khusus dapat diterangkan hanya sebagai sifat geometri ruang setempat. Matra tinggi, lebar, dalam, waktu dan massa, berbeda-beda antara tempat yang satu dan tempat yang lain dalam alam semesta, tetapi perbedaan tersebut hanya merupakan pencerminan lengkung geometri kosmik yang bermatra jamak itu. Dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan atau kebermatraan (dimensionalitas) kosmos dengan cara itu, Einstein dapat merumuskan persamaan-persamaan ilmu fisika, sehingga dapat diterapkan pada setiap pengamat dalam segala macam keadaan gerak diseluruh kawasan ruang-waktu yang bermatra empat, dan bahkan dalam ruang-materi-waktu yang bermatra lima.
            Membayangkan geometri yang bermatra empat atau lima itu bukan saja sukar, tetapi bahkan mustahil. Logika volume atau ruang bermatra jamak itu hanya nyata dalam persamaan, tetapi kabur dalam pandangan mata; sebab mata manusia itu biasannya hanya dapat mengindrakan permukaan bermatra dua – misalnya bentangan alam datar atau sosok kursi. Kalau orang dihadapkan pada masalah pengelihatan yang benar-benar bermatra tiga, seperti misalnya obyek cemerlang yang berada sangat jauh didepan pesawat terbang, maka pengelihatan orang itu akan menjadi kacau. Para penerbang sering sekoyong-koyong membuat gerakan membelok atau menukik yang membahayakan, padahal benda yang dihindarinya itu adalah sebuah meteor yang sebenarnya masih berjarak beratus-ratus kilometer didepannya.
            UNTUK memahami kosmos yang bermatra jamak, ahli matematika mengikuti pemahaman aljabar secara buta, dan mempunyai keuntungan bila dibandingkan dengan orang lain yang tak terlatih dan menuruti“refleks“ saja. Yang di dapati Einstein dalam memikirkan Kenisbian Umum ialah bahwa ruang merupakan volume lengkung sebagai akibat kehadiran materi dalam lekuk setempat yang bermatra tiga. Secara visuil, ruang dapat diibaratkan sebagai lembaran karet. Adapun benda-benda langit yang terletak didalam ruang tersebut dapat diumpamakan sebagai peluru kanon yang membentuk lekuk besar karena bobotnya, sedangkan benda-benda yang lebih kecil dan ringan menggelinding di sekitarnya seperti kelereng. Lekuk semacam itu menggambarkan lengkung setempat di dalam ruang. Kebenaran mengenai adanya lengkung setempat ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa cahaya bintang – yakni garis paling lurus yang dapat dibayangkan dalam alam semesta – dibelokkan sedikit, apabila cahaya bintang itu melewati medan gravitasi matahari. Dengan perkataan lain, kehadiran matahari melengkungkan ruang di sekitarnya.
            Sebagai tambahan atas lengkung setempat yang disebabkan gumpalan materi, Einstein menganggap bahwa alam semesta mempunyai lengkung menyeluruh. Dari tempat satu ke tempat yang lain cahaya bintang memintas mengambil jalan terdekat, menempuh jalan melintasi medan gravitasi setempat yang ditimbulkan oleh bintang dan galaksi, dan mungkin berakhir dengan arah yang sedikit berbeda dari arah yang semula ditempuhnya. Secara garis besar, garis yang ditempuh tadi berbentuk lengkungan, mungkin berupa lengkung“tertutup“, yang kembali ketempat semula seperti lingkaran, atau merupakan lengkung“terbuka“ yang tak pernah kembali ketempat asal. Lagi pula, belitan-belitan kecil sepanjang lintasan berkas cahaya bintang tadi dapat saling meniadakan, hingga cahaya itu sama sekali tidak melengkung, dan secara keseluruhan ruang adalah lurus. Dengan memperhitungkan segala kemungkinan ini, Einstein menyimpulkan bahwa ruang semesta harus mengikuti salah satu dari tiga pola matematika: yakni melengkung positif, melengkung negatif, atau tidak melengkung. Lengkung ruang positif adalah serupa dengan lengkungan pada permukaan bola, akan tetapi dengan tambahan satu matra lagi. Ruang yang tidak berlengkung adalah ruang Euklides biasa. Adapun ruang Euklides adalah ruang yang begitu dihayati oleh seseorang yang hidup di dalam kamar segi empat dan berdinding rata. Ruang berlengkung negatif barangkali yang paling sukar dibayangkan. Bidang bermatra dua yang setara dengan lengkung negatif adalah permukaan pada pelana kuda – akan tetapi pelana itu harus diperluas sedemikian rupa, sehingga bagian depan maupun bagian belakangnya melengkung ke atas sampai tak terhingga jauhnya, demikian pula kedua belah sisi sampingnya pun melengkung ke bawah sampai tak terhingga juga.
            Dalam masing-masing ruang berlengkung itu, cahaya selalu mengambil jalan terpendek antara dua buah titik. Dalam pengertian matematika, aturan jalan seperti itu dikatakan mengikuti geodesik. Pada permukaan bumi, geodesik merupakan lingkaran besar, seperti garis penerbangan lintas samudera. Dalam ruang yang berlengkuk positif, geodesik tadi merupakan lengkungan tertutup, dan bentuknya berupa lingkaran atau elips, sedangkan dalam ruang yang berlengkuk negatif, geodesik tadi merupakan lengkungan terbuka, dan bentuknya merupakan hiperbola atau parabola. Dalam ruang Euklides, geodesik itu berupa garis lurus.
            Oleh karena cahaya mengikuti geodesik, maka seseorang yang melihat jauh ke dalam alam semesta seharusnya dapat menentukan lengkung ruang dengan cara menyelidiki tebaran galaksi. Sudut pengelihatan orang yang berada pada ruang berlengkuk positif sama keadaanya dengan sudut pengelihatan orang di Kutub Utara bumi yang memandang ke arah selatan melalui dua buah garis bujur. Pada mulanya jarak kedua garis bujur tersebut bertambah lebar, tidak ubahnya seperti garis lurus biasa. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, pertambahan jarak itu tidak secepat seperti pertambahan yang seharusnya terjadi. Jika orang yang berada di Kutub Utara tadi dapat melihat ke sebrang khatulistiwa, maka jarak antara garis bujur itu mulai mengecil, dan akhirnya menjadi nol lagi apabila sampai di Kutub Selatan. Demikianlah juga kalau seseorang melihat semakin jauh ke dalam ruang yang berlengkung positif: luas daerah yang teramati menjadi lebih kecil apabila dibandingkan dengan luas daerah dalam ruang tak berlengkung yang sama jauhnya dari peninjau. Lagi pula, pertambahan jumlah galaksi yang terungkap di dalam setiap pertambahan jarak yang dicapai oleh teleskop akan menjadi lebih kecil daripada yang diharapkan, dan pada akhirnya jumlah itu akan menurun. Dalam kenyataannya, pengamat tadi akhirnya akan melihat kawasan alam semesta disebrang kutub lain: apabila pengamat tadi mau menghitung jumlah galaksi yang ada disebrang kutub itu, lebih mudah apabila dia membalikkan badannya, dan melihat ke arah yang berlawanan. Dengan teleskop yang cukup tangguh seorang ahli astronomi dalam ruang yang berlengkung positif seharusnya dapat memandang ke depan dan melihat satu keliling kosmos, dan akan dapat melihat belakang kepalanya sendiri. Namun oleh karena cahaya itu memerlukan waktu untuk merambat, maka yang sebenarnya dilihat mungkin hanyalah ruangan yang ditempati kepalanya beberapa milyar tahun yang lalu.
            DALAM ruang yang berlengkung positif, semakin jauh pandangan kita ke dalam angkasa, maka luas daerah dan jumlah galaksi pun semakin berkurang. Akan tetapi dalam ruang berlengkung negatif yang bertipe pelana tadi, semakin jauh pandangan kita ke dalam angkasa, maka luas daerah dan jumlah galaksi makin melimpah. Asas geometri ini dengan mudah dapat dibayangkan dengan cara menekan pelana yang berlengkung negatif dan tempurung yang berlengkung positif pada bidang datar. Setelah ditekan, pelana tersebut akan menumpuk menjadi lipatan-lipatan, oleh karena bidangnya lebih luas daripada bidang datar, sedangkan tempurung tersebut akan terpecah-pecah, oleh karena bidangnya lebih sempit daripada bidang datar.
            Selama tahun 1930-an Hubble telah mencoba menentukan lengkungan kosmos dengan menghitung galaksi di setiap lapisan bola angkasa yang semakin redup. Akan tetapi dia tidak berhasil, sebab pengukuran jaraknya kurang cermat dan karena metode penghitungan galaksi, bagaimana pun juga, tidak akan mengungkapkan lengkungan alam semesta dengan nyata, kecuali kalau penghitungan galaksi tadi dilakukan sampai batas cakrawala alam semesta.
            Dengan dasar persamaan-persamaan Einstein, H.P. Robertson dari Institut Teknologi Kalifornia (CALTECH), dan kemudian juga Allan Sandage dari Palomar, menggembangakan cara pengamatan untuk menentukan lengkungan atau ketidaklengkungan alam semesta. Sesudah alam semesta memuai, pada suatu ketika tentu akan mengalami perlambatan, oleh karena gaya tarik gravitasi antar galaksi akan memperlambat gerak saling menjauh antar galaksi tersebut. Didalam alam semesta yang berlengkung positif, yakni yang melengkung ke dalam, perlambatan tadi akan lebih kuat apabila dibandingkan dengan perlambatan pada alam semesta Euklides yang datar. Perlambatan di dalam alam semesta yang berlengkung positif itu pun juga lebih kuat bila dibandingkan dengan perlambatan pada alam semesta berbentuk pelana yang berlengkung negatif. Ukuran perlambatan itu dapat dilihat dari laju pemuaian alam semesta pada masa lalu. Jika laju pemuaian di masa lalu itu ternyata lebih besar daripada laju pemuaian alam semesta di masa sekarang, maka hal itu berarti bahwa alam semesta mengalami gaya perlambatan yang cukup besar, dan lengkung alam semesta adalah positif. Kalau perlambatan alam semesta hanya kecil saja, maka itu berarti bahwa lengkungnya mungkin nol. Akan tetapi kalau sama sekali tidak ada perlambatan, hal itu berarti lengkungnya negatif.
            SUATU hal yang cukup mengagumkan ialah bahwa besar perlambatan di masa lalu merupakan sesuatu yang dapat diamati pada masa sekarang. Kemungkinan itu disebabkan oleh karena bagi kita, memandang jauh ke alam semesta itu juga berarti menengok ke masa lalu. Di dekat batas pengelihatan teleskop 500 sentimeter di Palomar, umpamanya, terlihat galaksi yang cahayanya telah meninggalkan galaksi tersebut lebih dari lima milyar tahun yang lalu, yakni pada waktu jaraknya baru lima milyar tahun cahaya. Besar pergeseran Doppler yang dapat diukur dari cahaya yang terpancar oleh galaksi tersebut memperlihatkan kecepatan menjauh pada waktu itu, dan kecerlangan cahayanya mengungkapkan jarak galaksi tersebut. Di dalam alam semesta yang memuai secara seragam, galaksi pada jarak sejauh itu seharusnya berlari dengan kecepatan agak terbatas. Akan tetapi cahayanya dari masa lalu ternyata memperlihatkan bahwa dahulu galaksi tersebut bergerak dengan lebih cepat. Jadi, selisih kecepatan itulah yang menunjukkan besar gaya gravitasi yang sejak dahulu memperlambat pemuaian alam semesta. Setelah memperhitungkan besar perlambatan tadi dengan persamaan Einstein, para ahli astronomi dapat mengetahui macam lengkungan alam semesta: apakah alam semesta ini berlengkung positif, atau negatif, ataukah tidak berlengkung.
            Sampai saat sekarang untuk mempelajari cahaya lemah yang datang dari galaksi yang bergerak menjauh dengan sangat cepat, pengukuran yang telah dilakukan dengan susah payah – dan tidak lepas dari kesalahan – menunjukkan bahwa alam semesta mungkin berlengkung positif. Apabila benar demikian, itu berarti bahwa alam semesta ini tidak bertepi, akan tetapi terbatas; alam semesta ini dapat terbentang jauh tak terhingga menuju segala arah, namun massanya terbatas. Manusia atau makhluk cerdas lainnya yang melihat alam semesta dari salah satu galaksi akan dapat melihat jalan cahaya yang melengkung menuju diri sendiri, dan berjalan menelusuri waktu, melengkung kembali ke tempat asal mulanya.
            Oleh karena lengkungan alam semesta itu berlaku di segala arah, maka setiap galaksi dikelilingi oleh ruangan alam semesta secara sama dan tak terbatas; namun alam semesta sendiri bukanlah tak terbatas. Sebuah galaksi di dalam alam semesta yang berlengkung positif tadi dapat diibaratkan sebagai sebuah titik di permukaan bumi. Titik tersebut dari segala arah dikelilingi oleh bentangan permukaan bumi secara sama dan tak terbatas, akan tetapi besar bumi sendiri bukanlah tak terbatas.
            Masih ada hal yang lebih aneh lagi, yakni bahwa secara teoritis alam semesta yang berlengkung positif tadi dapat berkembang kempis. Seandainya jumlah seluruh massa dalam alam semesta ini ternyata cukup besar, maka bahan yang tersebar di seluruh alam semesta ini akan terkekang oleh gaya tarik gravitasinya sendiri, dan akhirnya pemuaian alam semesta pun akan terhenti. Sesudah jangka waktu yang tak terhingga panjangnya, mungkin lama setelah padamnya bintang-bintang terakhir di dalam galaksi, alam semesta akan mulai mengerut lagi. Beberapa milyar tahun berikutnya, alam semesta yang mengerut tadi akan mencapai keadaan sangat padat, sangat panas, dan segala bahanya akan terurai sekali lagi menjadi proton dan neutron dalam bentuk gas, dan Dentuman Besar pun akan terjadi sekali lagi. Dan berkat dentuman itu, selanjutnya alam semesta akan memuai kembali: mengulangi daurnya, dan terus-menerus memuai serta mengerut dengan tiada habis-habisnya, bagaikan jantung yang tak berdenyut atau paru-paru yang bernafas.
            PADA suatu ketika para ahli astronomi yang menyukai konsep Dentuman Besar pernah menyangka bahwa alam semesta mungkin sungguh-sungguh mengerut serta meledak lagi. Namun demikian pada saat sekarang ini kebanyakan ahli astronomi mengira bahwa kemungkinan mengerutnya alam semesta itu sangat kecil. Meskipun barangkali masih terdapat lebih banyak bahan yang belum terdeteksi, namun data yang sekarang ada menunjukkan bahwa jumlah bahan yang terkandung dalam alam semesta ini 10 kali terlalu kecil untuk dapat menyebabkan pengerutan. Lagi pula, pada tahun 1970-an satelit kopernikus telah menemukan bahwa deuterium hanya dapat bertahan dalam keadaan yang kerapatannya rendah, maka dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa alam semesta tidak cukup padat untuk mengerut.
            Dari segi kepentingan umat manusia, alam semesta yang dikemukakan oleh para ahli kosmologi tadi nampaknya cukup suram. Memang masih dapat dibayangkan bahwa keturunan manusia pada masa depan yang amat jauh akan selamat dari mala petaka yang ditimbulkan oleh penggembungan matahari yang bernyala-nyala pada lima atau enam milyar tahun yang akan datang. Mereka itu akan menyelamatkan diri dengan berboyong ke planit-planit lain yang mengedari bintang-bintang di dalam Bima Sakti. Akan tetapi berboyong lebih jauh lagi, yakni sampai memasuki kawasan galaksi lain, pastilah mustahil. Sekalipun manusia dapat pergi dengan mengendarai sinar cahaya, dia harus berjalan selama dua juta tahun, itu pun hanya untuk mencapai kawasan galaksi andromeda yang begitu dekat. Maka dari itu kelak, apabila bintang-bintang yang paling kecil didalam Bima Sakti telah padam, kehidupan seperti yang kita kenal sekarang ini tentu sudah musnah sama sekali.
           



Post a Comment

0 Comments