Memahami Hadis Nabi: Gambaran dan Ragam Kesadaran Muslim di Wilayah Gowa



kesadaran muslim di wilayah Gowa (https://khazanah.republika.co.id/berita/pvl84g313/sultan-alauddin-penyebar-agama-allah-di-tanah-bugis)


Tasmin Tangngareng

tasmin.tanggareng64@gmail.com
Islamic State University Alauddin Makassar



Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam tentang pemahaman hadis Nabi saw, yakni potret dan ragam pengetahuan masyarakat Muslim Kabupaten Gowa. Fokus penelitian ini adalah kelurahan paccinongang Kab. Gowa. Tingkat pengetahuan masyarakat muslim kelurahan Paccinongang tentang hadis Nabi tergolong masih rendah kecuali bahwa pada umumnya mereka dapat membedakan al-Qur’an dan Hadis Nabi. Demikian pula tingkat Pemahaman masyarakat Muslim di Kelurahan Paccinongang Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa tentang hadis Nabi pada umumnya juga masih rendah. Namun, ada korelasi antara tingkat pemahaman hadis dan tingkat pengamalannya. Semakin tinggi pemahaman seseorang tentang hadis Nabi, maka semakin tinggi pula tingkat pengamalannya. Di samping itu, Minat masyarakat Muslim di Kelurahan Paccinongang, Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa mempelajari hadis Nabi tergolong tinggi. Mereka menginginkan agar ada pengajian khusus hadis dan pengkajian hadis, baik secara formal maupun non formal. Selain itu, persepsi masyarakat Muslim Kelurahan Paccinongang kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa tentang posisi dan kedudukan Jurusan Tafsir-Hadis UIN Alauddin sebagai institusi pembelajaran hadis Nabi sangat positif. Terbukti bahwa sekitar 71% responden memilih jalur pendidikan formal sebagai tempat belajar hadis.



Kata kunci: Pemahaman, Masyarakat Muslim, Kesadaran, Hadis, Gowa.



Pendahuluan


Hadits atau tradisi kenabian memiliki fungsi sebagai sumber kedua ajaran Islam sesudah Al-Qur'an. Ini artinya mengetahui yang sebenarnya ajaran Islam, di samping untuk memahami instruksi Al-Qur'an, juga diperlukan untuk memahami instruksi hadis atau tradisi kenabian. Sebagai sumber kedua ajaran Islam, Hadits Nabi memiliki peran penting dalam Islam setelah Al-Qur'an. Namun, sampai batas tertentu Posisi kedua ini membuat Hadis kurang mendapat perhatian dari masyarakat Muslim, tidak sebanyak seperti Al-Qur'an. Pada kenyataannya, melacak Hadis membutuhkan waktu lebih lama sejak ditulis banyak buku, versi, dan berbagai sumber, sedangkan untuk kasus Al-Quran, cukup sederhana dan perlu membuka satu muṣḥaf untuk melanjutkan lebih jauh pembelajaran dan investigasi.

Secara normal, membaca Al-Qur'an juga dianggap sebagai tindakan ibadah dengan pasti mendapatkan pahala, sementara di sisi lain membaca Hadits Nabi tidak dianggap demikian. Fakta ini mendorong banyak sarjana Muslim untuk mencari cara agar masyarakat tidak memandang Hadits Nabi secara terbelakang, dengan niat bahwa hadis diposisikan sebagai pendamping Al-Qur'an dalam menjelaskan ajaran Islam secara keseluruhan.

Bagi masyarakat Muslim Indonesia, Hadis diyakini sebagai ucapan serta sosial dan perilaku keagamaan Nabi Muhammad, yang terdiri dari masalah dan bimbingan teologis untuk pelaksanaan ritual ibadah. Hadits juga berfungsi sebagai sumber ilmu, berdasarkan kepribadian Muhammad sebagai Messenger yang benar serta model untuk kesalehan dan kehidupan sosial bagi masyarakat Muslim.

Dalam konteks Indonesia, setelah kejatuhan Orde Baru (1988), Masyarakat muslim Indonesia, setidaknya para elit agama, tampaknya berusaha untuk melestarikan warisan mulia ini. Dampak dari krisis ekonomi juga terpengaruh masalah moral bangsa, yang saat itu diidentifikasi sebagai "krisis multidimensi". Demikian kemunduran moral mendorong para elit agama untuk bermain peran dalam memberikan perawatan dengan solusi agama. Pola dan perilaku sosial Nabi Muhammad sebagai idola utama yang berdiri teguh di hadapan kehidupan yang tak terhitung banyaknya tantangan, jelas membuat contoh yang sempurna sebagai referensi kehidupan bagi semua Muslim, dan semua ini hanya dapat diakses dan dipahami melalui Hadis yang dikumpulkan dalam berbagai sumber. Karena itu, Hadis Nabi seharusnya tidak dibiarkan dalam proses pemulihan moralitas bangsa setelah gangguan krisis.

Selain upaya kaum muslimin elit yang membawa harapan positif seperti yang disebutkan di atas, ada juga beberapa Muslim elit yang cenderung melupakan tugas utama mereka sebagai agen moral dan akhirnya terjebak dalam politisasi teks-teks agama (Al-Qur'an dan Hadits). Pada rasionalitas bangsa, kelompok-kelompok Islam tertentu sering membatasi teks-teks agama tertentu secara sempit dan perspektif yang lebih politis, persis seperti dimaksud oleh Lewis sebagai "otoriter dan jujur" atau dalam wacana klasik yang disebut sami'na wa ata'na, terutama bagi masyarakat muslim Indonesia yang diam-diam mendukung upaya pembentukan sebuah negara Islam. Di Sulawesi Selatan, salah satunya provinsi yang berjuang untuk formalisasi hukum Islam, kemungkinan politisasi teks-teks agama juga sangat potensial.

Selain politik, masalah tentang perkembangan moralitas sosial, pemahaman tentang pluralitas agama dan multikulturalisme tampaknya akan berlaku teks-teks agama dipahami secara “langsung” (akal sempit), sehingga memperlebar jebakan agama menjadi konflik horizontal dan bentrokan dengan budaya lokal. Penerapan agama dalam mengatasi kemiskinan, seiring dengan bertambahnya deretan tugas untuk teks-teks masalah agama, termasuk Hadits Nabi. Lalu semua kata-kata kotor masalah tentang bangsa ini menuntut keterlibatan teks-teks Islam dalam penyelesaian. Di saat yang sama, daftar panjang masalah nasional dapat mengaburkan, atau bahkan menghancurkan, perhatian Masyarakat Muslim terfokus tentang pentingnya kembali ke sumber ajaran agama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah agama itu cukup efektif dalam mengatasi masalah bangsa ketika penganutnya tidak memperhatikan sumber ajaran mereka? Untuk apa dan Sejauh mana masyarakat Muslim memahami teks sumber Islam sebagai indikator mereka siap menghadapi masalah?

Pertanyaan di atas mencerminkan inti masalah yang harus dijawab dalam penelitian ini. Diberikan bahwa masyarakat Muslim di Indonesia cenderung menjadi "penjaga Qur'anic", penelitian ini akan lebih disukai ketika fokus pada Hadis Nabi. Bahwa penelitian ini berencana untuk memeriksa sejauh mana pemahaman masyarakat Muslim tentang Tradisi kenabian. Objek penelitian ini adalah masyarakat Muslim di Kabupaten Gowa dengan sebuah kasus belajar di desa Paccinongang, Somba Distrik Opu.



Ulasan Teoritis Definisi Hadits


Para sarjana hadits umumnya telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan istilah Hadits adalah suatu ungkapan, perbuatan, taqrir dan kejadian direferensikan kepada Nabi Muhammad, Hadis dianggap identik dengan istilah al-sunnah oleh para ulama Hadis. Dengan demikian, bentuk-bentuk Hadits atau al-Sunnah termasuk berita apa pun yang berkaitan dengan (a) ungkapan (b) perbuatan (c) taqrir Nabi., yaitu semua keadaan dalam diri nabi.

Sarjana hukum Islam mendefinisikan Hadits sebagai semua kata, perbuatan, dan taqir Nabi terkait hukum atau yang bertanggung jawab untuk hukum syar'i. para sarjana hukum melihat ihwal Nabi dalam hal posisinya sebagai sumber ajaran Islam. Dengan cara yang sama, Muardi Khatib menegaskan bahwa memang demikian diperlukan untuk memperjelas ruang lingkup istilah hadis dalam definisi tersebut; apakah itu terdiri dari kata-kata Nabi sebagai kepribadian Arab yang umum; sebagai suami bagi istri-istrinya; atau sebagai bapaknya anak-anak. Jika apa yang dimaksud dengan frasa "Berasal dari Nabi" dalam definisi tersebut Muhammad sebagai Utusan Allah saja, tidak banyak masalah, meskipun beberapa klarifikasi diperlukan dalam hal jumlah, keaslian, dan metode verifikasi.

Muardi Khatib menjelaskan artinya dari istilah Nabi dalam definisi dapat ditemukan dalam referensi tekstual dalam berbagai ayat Alquran, misalnya QS. Āli Imrān [3]: 44, QS. al Aḥzāb [33]: 44, QS. Muḥammad [47]: 2, dan QS. al-Kahf [18]: 110. Ayat-ayat ini menyiratkan bahwa Nabi Muhammad menyampaikan wahyu sebagai manusia biasa dan juga sebagai Nabi; bahwa apa yang datang dari Nabi, apakah dia sebagai individu manusia dan sebagai seorang Nabi, adalah Hadits. Namun, masalah yang berlanjut adalah apakah yang datang dari Nabi, baik sebagai individu dan sebagai Nabi, yang disebut Hadits, dianggap syarīah (Islami hukum) dalam istilah universal, temporal, atau lokal.



Posisi dan Fungsi Hadits Nabi


Para sarjana Muslim menjelaskan bahwa ada referensi yang cukup, terutama dari ayat-ayat Alquran, yang menunjukkan Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Cukup banyak ayat Qur'an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat dan mengikuti instruksi dari Nabi Muhammad misalnya adalah sebagai berikut.

QS. al-Ḥasyr [9]: 7 reads:

yang artinya : ... Apapun yang diberikan oleh Rasul kepadamu, kamu harus menerimanya; dan apa pun yang ia larang bagimu, kamu harus meninggalkannya.

Para ahli dalam tafsir Al-Quran mempertahankan ayat itu karena memberikan instruksi umum tenytang semua perintah dan larangan berasal Nabi harus ditaati oleh mereka yang Percaya. Semua yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad harus dilakukan dan semua yang dilarang olehnya harus dihindari. Jadi, menurut Syuhudi Ismail, kewajiban menjadi patuh kepada Nabi adalah konsekuensi logis dari keyakinan seseorang.

QS. Ali ‘Imran [3]: 32:

yang artinya : Katakan: “Patuhi Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

Ayat tersebut memberikan instruksi bahwa kepatuhan kepada Tuhan adalah melalui mematuhi Al-Qur'an, sedangkan ketaatan kepada Nabi adalah dengan mengikuti Sunnah atau Hadits Nabi. Karena itu, berdasarkan ayat tersebut, pedoman untuk mengikuti tidak hanya apa yang tertulis dalam Alquran, tetapi juga apa terkandung dalam Hadits Nabi.

Dari instruksi dalam ayat di atas, Jelas bahwa Hadis atau Sunnah Muhammad dihitung sebagai sumber Ajaran Islam setelah Al-Qur'an. Mereka yang menolak Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti juga menolak instruksi Al-Qur'an. Demikianlah, Al-Qur'an dan Hadits adalah paket lengkap yang saling melengkapi, meskipun Alquran menempati otoritas yang lebih kuat dan lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan posisi Hadits. Selain ayat di atas, Nabi sendiri bersabda:

yang artinya: Abd al-Razzaq mengabarkan kepada kami, Ma'mar mengabarkan kepada kami, al-Zuhri memberitahuku, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi berkata: "Siapa yang menaati aku, itu berarti dia telah menaati Tuhan, dan siapa yang mendurhakaiku, dia telah mendurhakai Tuhan ... ". HR. Muslim.

Apakah Hadits Nabi semata berfungsi sebagai catatan sejarah tentang keberadaan dan kehidupan Nabi Muhammad, perhatian para ulama terhadap sanad (mata rantai) transmisi hadis akan kurang intensif daripada sekarang. Ini terbukti, misalnya, dalam penulisan buku-buku Sirah Nabi (sejarah hidup nabi). Sanad hadis berkaitan dengan kehidupan sejarah Nabi tidak dipertanyakan. Ini berarti Hadits Nabi tidak hanya sejarah Nabi sendiri, tetapi juga sumber ajaran Islam.



Kualitas Hadis

Dari segi kualitas, Hadits Nabi dapat diklasifikasikan ke dalam ṣaḥiḥ, ḥasan, dan ḍha'if. Menurut Ibnu al-Salah (w.577H / 1245 M) dan al-Nawawi (D.676 H / 1277 M), ṣaḥiḥ berarti hadis:

yang artinya : Hadits sahih adalah Hadits yang sanadnya sampai pada Nabi, yang diriwayatkan oleh orang ‘adl dan ḍabiṭ (hafalan yang kuat), sanadnya bersambung dan tidak mengandung penyimpangan (syuzuz) atau cacat (‘illat).

Adapun prinsip validitas Hadits dirumuskan oleh al-Nawawi, dikatakan sebagai berikut:

yang artinya : Hadits sahih adalah, Hadits dengan rawi yang tidak terputus, diceritakan oleh orang yang adil dan ḍhabiṭ, dan tidak mengandung penyimpangan (syużūż) dan cacat (‘illat).

Dengan mengacu pada dua definisi di atas, Syuhudi mengemukakan bahwa ada tiga elemen dari prinsip-prinsip validitas Hadits, yaitu: (1) sanad Hadits harus dilanjutkan dari mukharrij-nya kepada Nabi; (2) perawi Hadis harus adil dan ḍhabit (3) Hadis (rantai transmisi dan kontennya) harus terhindar dari penyimpangan dan cacat (‘illat). Ia menjelaskan lebih jauh bahwa ketiga item tersebut dapat dipecah menjadi tujuh poin, lima item terkait dengan sanad dan dua item terkait dengan matan. Yang terkait dengan sanad adalah: a) sanadnya bersambung, b) perawi yang adil; c) ḍhabit; d) terhindar dari penyimpangan (syadz); dan e) terhindar dari cacat (‘illat). Yang terkait dengan matan termasuk: a) bebas dari penyimpangan (syużūż) dan b) bebas dari cacat (‘illat).

Dengan mengacu pada elemen prinsip untuk validitas Hadits, Keahlian ulama menganggap bahwa hadis yang memenuhi semua elemen keaslian yang disebutkan di atas adalah menyatakan ṣaḥiḥ. Jika beberapa elemen tidak bertemu, baik itu elemen yang berhubungan dengan sanad atau matan, maka Hadits yang dimaksud bukanlah yang asli (ṣaḥiḥ).

Sehubungan dengan penelitian tentang sanad, beberapa referensi terdiri dari unsur validitas hadis yang berkaitan dengan sanad. Beberapa di antaranya elemen terkait dengan penghubung struktur atau persimpangan sanad dan beberapa lainnya berhubungan dengan pribadi keadaan matan.

Dalam situasi seperti itu, Syuhudi membagi elemen prinsip validitas sanad menjadi prinsip utama dan minor. Jurusan prinsip terdiri dari (1) rangkaian sanad; (2) perowi dapat diandalkan; dan (3) perowi adalah ḍhabiṭ atau ḍhabiṭ plus (tamm al-ḍhabṭ). Selain itu, dalam hal pengungkapannya, item kedua dan item ketiga bisa dibilang praktis dimasukkan sebagai perowi tsiqah untuk Istilah tsiqah mencakup arti keduanya adil dan dhabiṭ. Kondensasi kedua elemen ini tidak mengganggu substansi. Prinsip seperti itu hanyalah metode untuk menghindari elemen yang tumpang tindih, khususnya yang berkaitan prinsip-prinsip minor.

Mengapa elemen-elemen bebas dari ‘illat dan syuzuz didaftar oleh mayoritas sarjana sebagai elemen utama dari prinsip-prinsip keabsahan hadis? Menurut penjelasan dari Syuhudi Ismail, ada dua kemungkinan mengapa mayoritas sarjana menegaskan demikian: (1) Memang menyarankan bahwa titik ini muncul karena hampir semua buku mengeksplorasi ilmu Hadits tentang definisi hadis ṣaḥiḥ yang diambil sebagai referensi yang tidak menjelaskan status keduanya. Jika pernyataan itu akurat, artinya sebenarnya ada sanad yang berkelanjutan ditransmisikan oleh perowi yang pada kenyataannya adil dan ḍabiṭ (tamm al-ḍābiṭ) tetapi ternyata mengandung syużūż dan ‘illat. Faktanya, ini tidak mungkin terjadi karena penyebab utama untuk syużūż dan ‘illat terkait dengan sanad yang ada bukan narator yang berkelanjutan atau non-ḍābiṭ; (2) dua elemen disebutkan dengan niat penekanan (ta'kīd) pada pentingnya kepatuhan dengan kedua elemen yang dimaksud sebagai sikap hati-hati. Dengan demikian, kedua elemen tersebut bukan prinsip utama, melainkan dari yang kecil.

Tiga elemen prinsip validitas sanad (sanad terus menerus dan dapat diandalkan serta ḍābiṭ narator) telah memenuhi kriteria dari jāmi' dan māni' (jangan mengurangi cakupan) dari bagian-bagian yang didefinisikan dalam definisi Hadis otentik yang dikelola oleh mayoritas ulama Hadis. Kata-kata yang bebas dari syużūż dan ‘illat be elements of prinsip minor atas kemunculan mereka dalam definisi hanya dimaksudkan untuk penekanan dan kehati-hatian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika sebuah hadis, yang telah diteliti, telah bertemu unsur sanad terus menerus dan andal sebagai seperti halnya narator ḍābiṭ, maka hadis juga memilikinya telah terhindar dari syużūż dan ‘illat. Ini berarti bahwa hadits yang dimaksud adalah sah dalam hal baik sanad dan matannya.

Menurut Syuhudi, unsur-unsur itu prinsip minor mengenai validitas Sanad hadis adalah sebagai berikut. Pertama, unsur-unsurnya dari prinsip-prinsip kecil sanad berkelanjutan terdiri dari: muttaṣil, dan marfu’, maḥfuz, dan tidak Mu’allal. Kedua, unsur-unsur prinsip-prinsip kecil tentang pemancar yang andal terdiri dari: a) Muslim; b) mukallaf; c) mengimplementasikan ketentuan agama; dan d) memelihara muru'ah. Ketiga, unsur-unsur prinsip minor tentang perawi adil atau dhabit plus terdiri dari: a) menghafal hadis secara menyeluruh beserta sanad; b) mampu menyampaikan Hadis yang dia hafal kepada orang lain; c) bebas dari syadz dan d) bebas dari ‘illat.

Adapun aspek kebebasan dari syadz dan illat, menurut Syuhudi Ismail, bisa jadi terpenuhi ketika elemen sanadnya bersambung atau Perawinya ḍabiṭ secara menyeluruh. Adanya aspek kebebasan dari syadz dan ‘illat dalam konteks definisi Hadits otentik bersifat metodologis dan untuk penekanan pada aspek keberadaan dari rantai transmisi kontinu atau dari ḍabiṭ atau tamm al-ḍabṭ transmitter. Syuhudi mendefinisikan secara eksplisit memasukkan unsur-unsur kebebasan dari syadz dan illat sebagai bagian dari elemen minor dari Perawi yang ḍabiṭ untuk prinsip validitas sanad hadis. Secara implisit ia menyebutkan, sebagai bagian dari elemen minor dari rangkaian sanad, sebagai mahfudz untuk sanad yang terbebas dari syadz dan bukan mu'allal.

Dengan cara ini, dilihat dari aspek kuantitas, aspek prinsip untuk validitas Sanad Hadis yang diusulkan oleh mayoritas Para sarjana Muslim jauh lebih ketat dari pada yang diusulkan oleh Syuhudi. Mayoritas sarjana menentukan lima elemen utama prinsip, sedangkan Syuhudi hanya menyebutkan tiga. Namun, dilihat dari aspek kualitas, mereka berdua telah memenuhi substansi prinsip dari validitas Hadits.

Adapun Hadits ḥasan, para ulama berbeda dalam merumuskan definisi ketika mereka melihat hadis ḥasan itu berdiri di antara hadits sahih. Al-Turmuzī mendefinisikan hadis ḥasan yaitu hadis yang mencakup semua perawi yang sanadnya bersambug dan tidak syadz. Di samping itu, Maḥmūd al-Taḥḥān mendefinisikan bahwa hadis ḥasan dengan sanad yang bersambung dan perawinya adil, ḍabiṭ sampai ke ujung atas sanad, bebas dari syadz dan ‘Illat (cacat).

Adapun hadis dhaif, yaitu hadis yang tidak mencakup kriteria hadis shahih dan hasan. Oleh karena itu, untuk memfasilitasi pengakuan terhadap hadis daif, yaitu apabila sebuah Hadits tidak memenuhi salah satu atau lebih dari prinsip validitas ḥasan atau hadis sahih.



Metode penelitian

Desain Penelitian dan Variabel

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah; Pertama, variabel yang terkait dengan minat dan perhatian masyarakat Muslim di desa Paccinongang tentang Hadits Nabi. Ini variabel meliputi: (a) pengetahuan umum tentang Hadits Nabi dijunjung tinggi oleh Muslim masyarakat di Paccinongang, (b) antusiasme Masyarakat Muslim di Paccinongang menuju Informasi pengajaran Islam berasal dari Hadits Nabi, dan (c) kesadaran publik masyarakat Muslim di Paccinongang tentang pentingnya Hadits Nabi.

Kedua, variabel yang terkait dengan pemahaman dan pengaruh Hadits pada perilaku sosial. Variabel ini akan diimplementasikan Hadits dikumpulkan di al-Ahadīth al-’Arba’ūn (40) Hadits) oleh Imam al-Nawawi sebagai patokan untuk tingkat pemahaman muslim masyarakat di desa Paccinongang tentang Hadits Nabi.

Sebagai aksioma penelitian, semakin akrab mereka dengan hadis yang dikumpulkan di buku tersebut, semakin banyak perhatian dan pemahaman tentang Hadits Nabi mereka tegakkan.



Lokasi Penelitian

Studi ini adalah studi kasus tentang Muslim tingkat pemahaman masyarakat tentang Hadits nabi di desa Paccinongang, Kecamatan Senggigi Somba Opu, Kabupaten Gowa. Populasi Jumlah desa Paccinongang adalah 20,434, terdiri dari 10.225 pria dan 10.209 wanita penduduk. Selanjutnya, data agama Penganut di Kabupaten Gowa mencakup 640 832 Muslim, 848 Katolik, 2.357 Protestan, 160 Hindu, dan 215 umat Buddha. Persentase total populasi ini terdiri dari 99,1% Muslim, 0,13% Katolik, 0,36% Protestan, 0,02% Hindu, dan 0,03% Buddha.

Salah satu alasan memilih desa Panccinongang adalah tingkat yang sangat tinggi dan heterogenitas, dimana hampir semua kelompok etnis dengan berbagai karakter dan budaya menghuni desa tersebut. Apalagi, Islam sebagai agama Mayoritas di desa ini menjadi alasan selanjutnya. Sebagai mayoritas, masyarakat Muslim tentu akan membawa dampak pada kaum minoritas. Dengan kata lain, semakin baik pemahaman mereka tentang Hadis Nabi, maka semakin baik pula perilaku sosial mereka, termasuk pada agama lain dan kelompok etnis.



Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui kuesioner, lembar observasi, dan catatan lain dengan wawancara dan observasi langsung di lapangan. Di antara instrumen penelitian disebutkan di atas, pengumpulan data melalui wawancara membuat metode yang paling dapat diandalkan. Ini adalah wawancara terstruktur, di mana pewawancara bertanya pertanyaan berdasarkan kuesioner yang disiapkan. Namun, kuesioner akan memungkinkan gratis dan jawaban panjang, tidak berdasarkan pilihan jawaban.



Teknik Analisis Data

Penelitian ini menerapkan kualitatif metode analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dan menyajikan secara terperinci variabel yang dipertimbangkan dan hubungan mereka satu sama lain. Selain itu, itu juga menggunakan analisis data untuk menentukan level pemahaman masyarakat Muslim terhadap tradisi Nabi di Desa Paccinongang. Perlu disebutkan itu, meskipun analisis data disajikan dalam angka, kualitatif Analisis berfungsi sebagai analisis data besar.



Temuan Penelitian


Tingkat Pengetahuan tentang Hadits Nabi masyarakat Muslim di Desa Paccinongang.

Analisis kesadaran publik tentang Hadis Nabi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengetahuan Hadits di umum atau wawasan dan pengetahuan tentang ilmu hadis. Tujuan utamanya adalah mengukur pengetahuan masyarakat muslim di Paccinongang berkaitan dengan kategori ilmu hadis. Namun, wawasan mereka tentang hadis secara umum akan diamati melalui jawaban dari responden.

Wawasan masyarakat Muslim di Indonesia khususnya di Desa Paccinongan cukup baik. Ini didasarkan pada data yang diperoleh dari 50 responden, 34 di antaranya (70,8) di antaranya mampu membedakan antara Quran dan Hadits. Jawabannya didapat melalui wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa responden benar-benar pahami bahwa Al-Quran berisi wahyu datang dari Allah, sedangkan Hadits berasal dari Nabi Muhammad saw. Itu berharga menyebutkan bahwa kesimpulan diambil dari berbagai jawaban, yang pada dasarnya mengarah pada pemahaman seperti itu.

Keragaman definisi mereka juga menunjukkan tingkat pengetahuan mereka tentang Hadits Nabi. Definisi mereka diajukan sesuai dengan teori yayasan yang diusulkan oleh para sarjana dari Hadis, yaitu definisi yang mengandung tiga elemen utama, kata-kata, perbuatan dan taqrīr Nabi. Rumusnya adalah bahwa semakin banyak tiga elemen utama terlampir dalam definisi mereka mengusulkan, semakin baik tingkat kesadaran mereka.



Table 1
Deskripsi:

1. Kata-kata, Perbuatan dan Taqrir

2. Kata-kata dan Perbuatan

3. Kata-kata / Perbuatan / Taqrir

4. Sub-elemen



Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah respon yang memenuhi tiga elemen utama adalah 6 (18%) responden, yang memenuhi dua utama elemen adalah 12 (34%) responden, sedangkan jumlah respons yang hanya berisi satu dari elemen utama adalah 8 (24%) responden, dan sisanya, yang hanya mencakup sub-elemen, adalah 8 (24%) responden.

Kecenderungan respon di atas hanya menunjukkan sedikit perbedaan. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat Muslim di desa Paccinongang Tradisi tentang definisi Hadis adalah relatif rendah. Alasannya, itulah definisi yang memenuhi tiga elemen kunci yang diusulkan oleh para ulama Hadis menunjukkan kecenderungan minoritas. Kendati demikian, sejauh ini tidak ada keraguan bahwa secara substansial responden tahu apa dimaksud dengan Hadits Nabi.

Meskipun survei singkat mungkin menghasilkan kesan kurangnya pengetahuan, itu Masyarakat Muslim di Paccinongang cukup sadar tentang makna Hadits. Setidaknya mereka tahu perbedaan antara Hadits dan Al-Qur'an. Um Mahjan, misalnya, ketika ditanya tentang apa dia tahu tentang Hadits, menjawab: “kata-kata atau perilaku Nabi saw. sebagai pedoman dan teladan bagi kehidupan umat Islam, yang disampaikan kepada teman-temannya dan tābi'in dan tābi ’al-tābi’īn. Tanggapan ini menunjukkan itu Syamsiah mengerti apa yang dia sebutkan pada dasarnya terdiri dalam definisi Hadis. Namun, ini tidak cukup untuk menganggap bahwa Syamsiah sangat menyadari Hadits Ilmu pengetahuan, seperti yang dia usulkan belum tercakup sesuai dengan persyaratan dan ketentuan definisi Hadis yang akurat. Dalam definisinya, Syamsiah menyebutkan “disampaikan kepada tābi’īn dan tābi ’al-tābi’īn” padahal sebenarnya generasi ini hidup di era yang berbeda dan karenanya tidak pernah bertemu Nabi. Terlepas dari ini, sangat mungkin itu Syamsiah memahami betul bahwa sebuah Hadis yang menjangkau umat Islam saat ini telah terlibat dan datang dari generasi tābi’īn dan tābi ' al-tābi’īn.

Responden tertentu bahkan merespons jawaban yang sepenuhnya keluar dari konteks. Syamsu Alam, misalnya, menjawab itu Hadits adalah "surah (bab Al-Qur'an) yang berisi perintah Allah untuk mendukung Nabi di menyampaikan kebenaran agama yang dia sampaikan, untuk menyebarkan agama Islam ”. Meskipun ini adalah satu-satunya jawaban yang keluar konteks, itu tidak dapat diabaikan karena 1 (satu orang) juga merupakan bilangan real.

Untuk menguji keandalan responden jawaban, tingkat pengetahuan mereka tentang ṣaḥīḥ dan ḍa Hadits juga merupakan pertanyaan. Sebagai patokan, prinsip-prinsip validitas Hadits menurut ulama Hadis juga diterapkan sebagai landasan teoritis. Dalam pandangan Hadis ulama, ṣaḥīḥ Hadis harus memenuhi lima kriteria, yaitu sanad berkelanjutan, pemancar andal, Pemancar ḍābiṭ, bebas dari ‘illat, dan gratis dari keganjilan (syāż). Berdasarkan teori ini, informasi yang diperoleh dari responden adalah seperti yang disajikan dalam bagan berikut:



Table 2

Deskripsi:

1. Empat prinsip validitas

2. Dua prinsip validitas

3. Satu prinsip validitas

4. Sub-elemen



Tabel di atas menunjukkan bahwa Muslim masyarakat di desa Paccinongang telah lama menyadari arti dari ṣaḥīḥ Hadis, karena hanya 3 (16%) responden menyebutkan 4 validitas prinsip, 2 (11%) menyebutkan 2 prinsip, 1 (5%) hanya menyebutkan salah satu prinsip, dan sisanya atau 13 (68%) dari responden menyebutkan prinsip-prinsip minor (sub-elemen) dari aturan utama untuk validitas rantai Hadits transmisi.

Meskipun demikian, masyarakat Muslim ini umumnya sangat mengerti bahwa ṣaṣīḥ Hadis berarti Hadits dengan kualitas terbaik. Mereka juga mengerti betul bahwa itu artinya Hadits Hadits dengan kualitas buruk.



Di antara jawaban untuk pertanyaan tentang arti dari ṣaḥīḥ Hadits adalah “Hadits that tidak diragukan lagi otentik ”, (Faridah). ini jelas bahwa responden dengan jawaban seperti itu yakin bahwa ṣaḥīḥ Hadis adalah Hadis dengan kualitas tertinggi. Begitu juga jawabannya dari Muhammad Ali Dg. Lompo dan Mansur Dg Ngawing, misalnya, yang merespons dengan "Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, al-Baukhari, dan Muslim." adalah indikasi bahwa Abu Hurairah, Bukhari dan Muslim adalah narator yang dikenal baik. Oleh karena itu, jawaban semacam ini juga menyiratkan hal serupa bahwa ṣaḥīḥ Hadis dalam sudut pandang mereka berarti Hadits yang berkualitas tinggi.

Ketika Tabel 1 dan Tabel 2 dibandingkan, dapat disimpulkan bahwa ada konsistensi dalam jawaban responden. Tabel 1 menunjukkan bahwa meskipun anggota masyarakat pada umumnya sadar bahwa Hadits berasal dari Nabi Allah, mereka belum mampu memberikan definisi Hadits yang mencakup tiga elemen dasar (kata-kata, perbuatan dan Taqrīr Nabi). Begitu juga halnya pada Tabel 2, di mana itu ditunjukkan bahwa masyarakat Muslim Desa Paccinongang sangat menyadari hal itu ṣaḥīḥ Hadis memiliki kualitas suara tetapi mereka miliki belum dapat memberikan jawaban yang terdiri semua empat prinsip validitas Hadits sanad.

Konsistensi responden adalah diamati dalam jawaban mereka untuk pertanyaan tentang Hadis Dha’if. Dari total responden, hanya 17 memberikan respons. Dari 17 responden, 10 (59%) menyebutkan satu unsur ḍa Hadis dan 7 sisanya (41%) tidak menyebutkan apa pun aspek dari Hadits Dha’if.



Table 3


Deskripsi:

1. Sebutkan salah satu unsur Hadis Dha’if

2. Jangan menyebutkan satu pun dari mereka.



Pengetahuan yang tidak memadai tentang Hadis di antara masyarakat Muslim di Paccinongang mungkin memiliki implikasi pada agama mereka kehidupan. Saat menghadapi masalah, solusi mana membutuhkan legitimasi teks keagamaan seperti hadis Nabi, seperangkat pengetahuan semacam itu karena Mukhtalaf al-Hadits juga dibutuhkan. Ini masuk Untuk membantu menilai Hadis, yang muncul untuk memiliki kualitas yang berbeda, walaupun isinya (Matn) dapat berfungsi sebagai dasar pemecahan masalah.

Pertimbangan semacam itu mendasari alasan mengapa responden ditanyai pertanyaan untuk diukur sikap mereka terhadap hadis dengan berbeda kualitas. Tujuannya adalah untuk melihat apakah mereka lebih suka untuk berlatih hadis dengan kualitas suara dan abaikan Hadits berkualitas buruk, atau untuk mempraktikkan keduanya dari mereka, atau untuk kompromi keduanya kualitas hadis yang berbeda. Jawaban didapat dari responden dapat diamati di tabel berikut:



Table 4


Deskripsi:

1. Berlatih Hadis dengan kualitas lebih tinggi

2. Cobalah berkompromi

3. Praktekkan keduanya (ikuti secara membabi buta)



Tabel di atas menunjukkan mayoritas atau 23 (48%) dari responden menjawab Beda dengan mempraktikkan Hadits yang lebih kuat kualitas. Sementara 14 (29%) responden memilih untuk mencari kompromi dan 11 (23%) mencari praktik kedua.

Merefleksikan angka-angka di atas, nampak bahwa telah ada yang ironis dan kritis situasi dilematis yang sama dalam Masyarakat Muslim di desa Paccinongang. Di di satu sisi, mereka belum sadar apa yang dimaksud dengan ṣaḥīḥ dan ḍa hadits, di lainnya, mereka lebih suka mempraktikkan hadits suara kualitas. Bagaimana mungkin mereka bisa menentukan untuk mempraktikkan Hadis yang sehat ketika mereka tidak cukup berpengetahuan tentang masalah 'a'f dan ṣaḥīḥ Hadis? Dalam situasi seperti itu, bisa saja meramalkan bahwa mereka harus menghormati Hadis menyebar oleh pengkhotbah agama di masjid-masjid atau jemaat belajar Islam sebagai sesuatu "Diterima begitu saja" atau "sami'na ata'na."

Prediksi ini bukan tanpa alasan, seperti ketika mereka ditanya tentang kebanyakan mereka sumber kontribusi informasi Hadits, 24 (50%) dari responden memilih agama pidato, sumber kontribusi kedua adalah Jemaat belajar Islam yang disebutkan oleh 13 (27%) responden, media massa (khususnya radio) berada di posisi ketiga dengan 13%, masjid dengan 8%, dan persentase terendah adalah sekolah, disebutkan oleh hanya 2% dari total responden.



Table 5


Deskripsi:

1. Masjid

2. Jemaat Islam

3. Sekolah

4. Media Massa

5. Khotbah Agama



Untuk mengukur sejauh mana masyarakat Muslim di Paccinongang memanfaatkan sumber informasi tentang Hadis, responden juga ditanya tentang jumlah total hadis yang mereka hafal. Mereka jawaban bervariasi: 18 (38%) responden menghafal 1-5 Hadis, 10 (21%) responden menghafal 5-7, 9 (19%) responden menghafal 7-10 Hadis, dan hanya 5 (11%) menghafal 10 Hadis.

Seperti yang ditunjukkan dalam data yang diperoleh sebelumnya, sumber informasi paling efektif tentang Hadis adalah layanan keagamaan (50%). Kapan dibandingkan dengan jumlah rata-rata Hadits hafal, yang hanya sekitar 5 Hadis, itu perlu diragukan apakah pidato agama masih membuat pendekatan yang efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat Muslim di Gowa kabupaten dan lebih khusus lagi di desa Paccinongang. Sampai sekarang pidato agama, yang telah menjadi yang paling favorit dan populer metode untuk memperluas pemahaman agama, adalah hanya mampu mentransfer 1 hingga 5 Hadis ke pengikut yang secara berkala menghadiri pertemuan itu. Dalam ligiht ini, selain metode ini, baru Format harus tentang untuk meningkatkan pemahaman tentang agama. Salah satu lembaga yang paling tepat untuk tinggal di dalamnya adalah UIN Alauddin, pelopor Peradaban Islam di Indonesia Timur.



Tingkat pemahaman umat Islam masyarakat di desa Paccinongang tentang Hadits Nabi.

Pengetahuan tentang ilmu Hadits adalah berkorelasi signifikan dengan pemahaman Hadis Nabi. Karena itu juga diperlukan untuk mengukur pemahaman Masyarakat muslim di Paccinongang untuk melihat apakah tingkat pengetahuan mereka menunjukkan konsisten hubungan atau tidak. Hubungannya menunjukkan hal itu semakin tinggi pengetahuan tentang sains Hadis, semakin baik pemahamannya tentang Hadis. Sebaliknya, pengetahuan yang lebih rendah tentang Hadis, semakin miskin pemahamannya tentang Hadis.

Aspek yang paling penting untuk diatasi sebelumnya berurusan dengan subjek pengertian adalah tujuan dan fungsi Hadits sebagai sumber Ajaran Islam. Seperti yang dijelaskan di awal bahwa data obta ined dengan r egards ke perspektif umum masyarakat langsing Mu di Indonesia Paccinongan tentang Hadits cukup baik (70,8% responden). Karenanya, ketika ditanya tentang subyek umum seperti itu tujuannya dan fungsi Hadis, 14 (43%) responden jawablah bahwa itu adalah sumber kedua Islam ajaran, 13 (41%) responden menjawab itu Hadits berfungsi sebagai s bayān (ex planation of the had) Qur’an), dan 5 (16%) responden menjawab itu Hadits berfungsi sebagai uswah (panutan).



Table 6

Deskripsi:

1. Sumber kedua dari ajaran Islam

2. Berfungsi sebagai bayān (penjelasan -Qur'an)

3. Berfungsi sebagai uswah (panutan)



Angka-angka di atas menunjukkan bahwa Muslim masyarakat Paccinongang telah memahami dengan baik bahwa Hadis memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas agama. Ini terbukti pada intinya bahwa hanya ada sedikit perbedaan di antara keduanya tanggapan menyebutkan Hadih sebagai sumber Ajaran Islam dan sebagai penjelasan tentang Qur'an, yaitu 43%: 41%, sedangkan tanggapan menyebutkan bahwa Hadis berfungsi sebagai peran Model menunjukkan angka yang lebih rendah. Perbedaan ini dapat dimengerti karena masalah itu panutan tidak begitu tergantung pada ilmu hadis secara teoritis. Sebaliknya, itu lebih dipahami sebagai bentuk perilaku empiris.

Berkenaan dengan pemahaman Hadits Nabi, beberapa responden berkorelasi dengan jumlah hadis yang mereka hafal. Ketika ditanya apakah mereka mengerti dan berlatih Hadis yang mereka tahu, lebih dari setengah atau 61% responden menjawab itu terkadang mereka berlatih, dan hanya 4% yang mengklaim tidak berlatih karena mereka belum sehat memahami isi Hadits. Lain alasannya adalah, karena terkait dengan kekurangan mereka persiapan mental. Banyak responden siapa yang tidak mempraktikkan Hadits, mereka tahu mengekspresikan respons pesimistis, seperti “Saya punya tidak sepenuhnya memahami isi Hadits ”, (Salma Sain) “Hati saya belum tenang juga ready "(Masdar)" dalam kegiatan sehari-hari saya sering lupakan "(karimah)" Aku belum berpengalaman dengan Hadits ”(Yuliati)“ Aku tidak melanggarnya seperti aku masih sering tidak taat ”(Muh. Ismail) Semua ini jawaban menunjukkan tidak pentingnya Hadis di latihan mereka.

Selain itu, bagian yang menarik dari pengakuan responden di atas adalah bahwa ketidaksadaran dan implementasi dari Hadis sangat terkait dengan jumlah Hadits hafal. Mereka tampaknya percaya itu yang paling wajib menjalankan hukum Islam adalah mereka yang menghafal banyak teks suci, itu Qur'an dan Hadits. Jika demikian, maka bisa jadi menafsirkan bahwa mayoritas muslim dalam hal ini masyarakat masih menjunjung tinggi semacam “elitisme agama” dimana elit agama atau cendekiawan agama berada bertanggung jawab atas dosa orang biasa, dan masyarakat umum diperlakukan sebagai kelas kedua dengan kurang tanggung jawab.

Di atas segalanya, meskipun elitisme agama tampaknya telah sangat disukai oleh Muslim masyarakat di desa Paccinongan, bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki niat untuk meningkat pemahaman mereka tentang Hadits Nabi.



Table 7


Deskripsi:

1. Pendidikan khusus tentang Nabi Hadits

2. Kolaborasi institusi keagamaan dan pemerintah 3. Pidato Agama tentang Hadits Nabi.

4. Jemaat belajar Islam pada Hadits Nabi.

5. Studi khusus tentang Hadits Nabi.



Tabel di atas menunjukkan bahwa Muslim masyarakat di Paccinongan memiliki keinginan kuat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Nabi Hadits. 30 (63%) responden ingin memilikinya pertemuan khusus untuk Hadis dan sains Pembelajaran Hadits, dan 11 (23%) berharap Hadits itu belajar dilakukan secara informal pendidikan. Perlu dicatat bahwa upaya untuk meningkatkan pemahaman Hadis melalui pidato keagamaan dianggap tidak relevan, dimana 0% responden memilih metode ini sebagai cara yang tepat untuk meningkatkan pemahaman Hadits. Situasi ini menegaskan responden ragu tentang keefektifan metode bicara di Indonesia menyampaikan informasi tentang Hadis.

Untuk mendukung upaya pemahaman Hadits, 52% responden merekomendasikan untuk melakukan Kegiatan belajar hadits sebulan sekali secara teratur..



Table 8

Deskripsi:

1. Sekali seminggu

2. Tiga kali sebulan

3. Dua kali sebulan

4. Sekali sebulan

5. Sekali dalam dua bulan



Perhatian masyarakat Muslim Desa Paccinongan dalam mempelajari Nabi Hadits.

Sebagai sumber kedua ajaran Islam, Hadis sering ditempatkan pada keprihatinan kedua setelah Alquran. Karena itu, sesuai wajar jika, pada titik-titik tertentu, Hadis dianggap sebagai sumber bawahan yang tidak pantas perlakuan sama dengan Al-Qur'an. Situasi ini harus segera ditanggapi untuk mencegah hadis menghilang. Dengan maksud seperti itu penelitian ini diupayakan untuk mencari data dari masyarakat Muslim Paccinongang di Indonesia untuk mengukur minat dan ketulusan mereka dalam mempelajari Hadis Nabi.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa bunga masyarakat Muslim di Paccinongang di Jakarta Pembelajaran hadis sangat tinggi. Jumlah dari 34 (71%) responden merespons sebagai sangat tertarik. Faktanya tidak ada responden (0%) memberi jawaban negatif. Data ini menghasilkan kredit dan bantuan, seperti apa yang selama ini keliru diterima sebagai benar bahwa Hadits kurang mendapat perhatian dari masyarakat tidak terbukti.

Subjek yang dipermasalahkan adalah untuk melihat apakah angka dibiarkan berbicara sendiri tanpa ada upaya untuk merespons. Di atas penerimaan substansial adalah peluang yang baik untuk berikan mereka panduan, baik secara pribadi dan secara kelembagaan.



Table 9

Deskripsi:

1. Benar-benar tidak tertarik

2. Tidak tertarik

3. Netral

4. Intersted

5. Sangat tertarik



Selain menunjukkan minat yang tinggi, angka-angka ini juga menunjukkan informasi metode pengiriman tentang Hadis secara umum publik tidak memuaskan. Ini terbukti dalam data diperoleh dari masyarakat Muslim desa Paccinongang ketika ditanya tentang model pembelajaran Hadits yang mereka pertimbangkan sesuai.

Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa paling banyak cara yang tepat untuk meningkatkan pemahaman Hadis menurut responden adalah melalui pendidikan formal. Keterangan lebih lanjut menunjukkan bahwa 24 (50%) responden memilih formal pendidikan (beberapa dari mereka secara khusus menyebutkan UIN Alauddin Makassar). Metode kedua adalah melalui jemaat belajar Islam, dengan 20 (40%) responden. Yang menarik Poinnya adalah hanya 4 (8%) responden yang memilih Pidato Islam sebagai metode yang tepat untuk mempelajari Hadis Nabi.



Table 10


Deskripsi:

1. Pidato khusus tentang Hadis

2. Pidato agama umum menyebutkan tentang hadits

3. Pelatihan memahami Hadis

4. Jemaat Belajar Islam

5. Pendidikan formal



Sekali lagi, data ini sangat melegakan, terutama untuk lembaga pendidikan formal di bidang Ilmu Hadits, seperti universitas Islam. Melalui data ini, UIN perlu mencerminkan dan untuk lebih meningkatkan citranya, lebih khusus kualitas pembelajaran serta fasilitas belajarnya. UIN harus mampu bersaing dengan yang lain universitas di Indonesia timur untuk mengambil alih peran pencerahan dan intelektualisasi bangsa, khususnya Muslim, seperti di antara pengukuran kualitas Muslim juga baik pemahaman tentang Hadis Nabi.



Posisi Departemen Hadits Tafsir di Jakarta UIN Alauddin sebagai Lembaga Pembelajaran untuk Hadits Nabi.

Sebagai penelitian yang dilakukan atas nama lembaga UIN Alauddin Makassar, yang hasil penelitian ini harus memberikan signifikan kontribusi. Karena itulah, penulis termasuk beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masyarakat kebutuhan UIN Alauddin, khususnya di Studi Hadits Nabi.

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan dengan kepentingan masyarakat Muslim Paccinongang desa di Hadits. Data sebelumnya menunjukkan itu hampir semua responden (71%) sangat tertarik dan memilih pendidikan formal untuk ditingkatkan pemahaman tentang ilmu Nabi Hadits.

Sebagai institusi formal pendidikan tinggi, UIN perlu menanggapi kecenderungan Masyarakat paccinongang seperti tersebut di atas. Karena itu, pertanyaan yang diajukan meliputi itu tempat atau lembaga yang paling tepat untuk mempelajari Hadis.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa paling banyak tempat yang cocok untuk belajar Hadis adalah Islami universitas. Ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat Muslim di Paccinongang untuk pendidikan formal. 16 (34%) responden pilih Universitas Islam sebagai yang paling cocok tempat untuk belajar Hadis Nabi, diikuti oleh jamaah belajar Islam dengan 14 (30%) responden, masjid dengan 10 (21%) responden, dan transmisi Islam lembaga dengan 7 (15%) responden.



Table 11


Deskripsi:

1. Sekolah

2. lembaga transmisi Islam

3. Masjid

4. Jemaat belajar Islam

5. Universitas Islam



Studi ini juga berupaya mendapatkan lebih banyak data spesifik tentang lembaga yang melakukan Belajar hadis. Keberadaan Hadits Tafsir Departemen di Fakultas Teologi dan Filsafat UIN Alauddin Makassar menjadi tolok ukur serta ukuran untuk masyarakat kesadaran dari Departemen Hadits Tafsir yang secara khusus mempelajari ilmu Hadits di UIN. 4 (8%) responden tahu tentang departemen meskipun tidak detail, dan 16 (33%) tidak tahu keberadaan departemen. Angka-angka 33% dari total responden tidak titik kecil, tetapi harus meningkatkan perhatian dari UIN secara umum dan Fakultas Teologi dan Filsafat khususnya.



Table 12


Deskripsi:

1. Tidak tahu tentang departemen Tafsir Hadits di UIN

2. Tahu sedikit tentang departemen Tafsir Hadits di UIN

3. Netral

4. Tahu tentang departemen Hadits Tafsir di UIN

5. Ketahui dengan baik tentang departemen Tafsir dan Hadits di UIN



Berdasarkan data di atas, dapat tercermin Itu meskipun jumlah responden yang tahu tentang Departemen Hadits Tafsir, itu harus dipertimbangkan bahwa data juga menunjukkan perlunya kerja keras untuk menarik perhatian belajar Hadits Nabi melalui Departemen Hadits Tafsir.

Salah satu kemungkinan alasan untuk angka yang tinggi menunjukkan ketidaktahuan publik tentang keberadaan Departemen Hadis Tafsir di UIN Alauddin Makassar adalah media yang digunakan untuk mempromosikan Departemen tidak tepat, atau mungkin Intensitasnya belum maksimal.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui tanya tentang sumber daya yang paling efektif untuk menyampaikan kehadiran Departemen Tafsir Hadits, sebagian besar responden menjawab dengan “kata dari mulut ke mulut, ”dengan 11 (27%) responden. Lain sumber yang disebutkan adalah informasi spesifik melalui spanduk, selebaran, brosur dan sejenisnya dengan 10 (26%) responden, peringkat surat kabar selanjutnya dengan 9 (23%) responden, Radio dengan 8 (21%) responden, dan yang terakhir adalah televisi dengan hanya satu responden.



Table 13


Deskripsi:

1. Informasi spesifik (spanduk, brosur selebaran) 2. Televisi

3. Surat kabar

4. Radio

5. Dari mulut ke mulut



Bagian yang menarik dari temuan di atas adalah fakta bahwa metode yang paling efektif menurut kepada responden adalah melalui individu. Ini menyiratkan bahwa upaya yang dilakukan oleh UIN Alauddin, atau Fakultas Teologi dan Filsafat di Indonesia memperkenalkan Departemen Hadits Tafsir belum efektif, seperti yang diketahui kebanyakan orang tentang Departemen melalui individu. Ini menunjukkan perlunya meninjau metode untuk tujuan memperkenalkan Departemen Hadits Tafsir. Salah satu cara untuk merespons situasinya adalah Kerja Lapang (PKL) atau sejenisnya harus selalu diterapkan sebagai media untuk mendistribusikan informasi.





Kesimpulan


Berdasarkan uraian di sebelumnya bab, dapat disimpulkan sebagai berikut. Tingkat kesadaran masyarakat muslim di Indonesia Desa Paccinongang tentang Hadits relatif rendah, sejauh itu, secara umum, mereka hanya bisa membedakan antara Al-Qur'an dan Hadis. Tingkat pemahaman Masyarakat Muslim di Desa Paccinongang tentang Hadis Nabi pada umumnya juga relatif rendah. Namun, ada korelasi antara tingkat pemahaman Hadits dan sejauh mana implementasinya. Semakin tinggi pemahaman seseorang tentang Hadits Nabi, semakin tinggi tingkat implementasinya. Itu minat masyarakat Muslim di desa Paccinongang dalam belajar hadis Nabi adalah cukup tinggi. Mereka berharap untuk pertemuan khusus untuk pembelajaran Hadits, baik formal maupun nonformal. Persepsi masyarakat Muslim di desa Paccinongang tentang posisi dan status Departemen Tafsir Hadits di UIN Alauddin sebagai lembaga pembelajaran untuk Hadis Nabi sangat positif. Ini terbukti dalam kenyataan bahwa sekitar 71% responden memilih pendidikan formal sebagai tempat yang paling tepat untuk belajar hadis.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagai disebutkan di atas, beberapa rekomendasi disarankan sebagai berikut. Sehubungan dengan adanya upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat Muslim tentang Hadits Nabi, perlu mempelajari Hadis melalui saluran non-formal selain Institusi Formal. Sehubungan dengan praktik ajaran Islam, studi hadis harus diintensifkan. Untuk meningkatkan minat publik pada mempelajari Hadis Nabi, UIN Alauddin harus lebih meningkatkan citranya untuk kualitas pembelajaran serta fasilitas belajar. Itu karena salah satu tolok ukur kualitas dari seorang Muslim adalah luasan dari pengetahuan dan praktik Hadits Nabi. UIN Alauddin Makassar, lebih khusus lagi Departemen Tafsir Hadis di Fakultas Teologi dan Filsafat, harus meningkatkan sosialisasi sebagai masyarakat secara dominan mempercayakan lembaga formal untuk pusat-pusat pembelajaran Hadits.

Post a Comment

0 Comments