Lahir dan Matinya Bintang


SETELAH mendaftar aneka warna bintang dan menemukan di mana dan apa sebenarnya bintang itu, para ahli astronomi dan astrofisika semakin tertarik pada pertanyaan “bagaimana”; maksudnya bagaimanakah binatng sampai ke tempatnya sekarang dan menjadi seperti apa adanya kini. Dari pertanyaan semacam itu lahirlah suatu kerangka bagan besar yang mudah dipahami. Bagan ini bukan saja mengatur bintang yang keaneka-ragamnya sangat mengagumkan itu ke dalam suatu urutan evolusi, tetapi segala jenis bintang abnormal yang sukar dijealskan pun dipaparkan menurut tingkat-tingkat kehidupan bintang normal. Banyak ditil masih harus dicantumkan pada bagan besar itu: ciri dan cacad khusus setiap bintang masih harus diukur dengan lebih tepat, dan gaya raksasa yang menentukan nasib bintang-bintang masih harus lebih cermat dirumuskan dalam bentuk persamaan. Tetapi penghitungan dan pengamatan telah cukup jauh mencapai kesepakatan, hingga dapat melukiskan kelahiran, keremajaan, kedewasaan, kerentaan dan kematian kebanyakan bintang, bahkan dengan cara kwantitatif kasar dapat dapat diperhitungkan saat-saat terakhir bila semua bintang Bima Sakti akan meredup dan mati.
Lahir dan Matinya Bintang (www.wowkeren.com)

     Keberhasilan yang besar ini adalah jasa ratusan ilmuwan dan merupakan salah satu konsep terpenting dalam astronomi modern. Pada bidang teoritis, perintisnya adalah seorang ahli astronomi Inggris, Sir Arthur Stanley Eddington. Dialah yang pada tahun 1920-an pertama kali menyadari betapa pentingnya massa dalam kehidupan bintang. Dia melihat bahwa apabila sekali bintang telah membentuk dengan jumlah massa tertentu, maka sisa hidupnya akan ditentukan oleh pertentangan terus-menerus antara dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu pihak bintang itu cenderung untuk mengerut terus-menerus akibat tarikan gravitasinya sendiri, dan di lain pihak bintang itu cenderung untuk menjadi buyar akibat pelepasan tenaga yang terkandung di dalamnya, berdasarkan hokum E = mc2. Pada zaman Eddington, mekanisme termonuklir yang tepat untuk pelepasan tenaga masih serba rahasia. Ketika hal itu mulai diketahui pada akhir tahun 1930-an, para ahli teori ternama – terutama Subrahmanyan Chandrashekar, Hans Bethe dan Carl von Weizsacker – dapat memperluas gagasan Eddington, dan memperhitungkan jalan kehidupan sebuah bintang bila jumlah massanya diketahui.


PADA bidang pengamatan, gagasan dasar yang memungkinkan pemahaman evolusi bintang dicetuskan oleh Walter Baade dari Gunung Palomar pada tahun 1940-an. Sewaktu menelaah foto galaksi Andromeda, Baade melihat dua macam populasi bintang, yang kelihatannya telah berkembang terpisah satu sama lain; bintang selubung yang terdapat di pusat dan di antara lengan spiral galaksi, dan bintang piringan yang beredar di dalam lengan.

     Baade menemukan bahwa bintang selubung kebanyakan kali berwarna kemerah-merahan, dan anggotannya yang paling banyak ialah raksasa merah yang menggembung dan kelewat cemerlang, misalnya Arcturus. Dia juga menemukan bahwa bintang selubung itu menempati kawasan tanpa gas dan debu, sedangkan gas dan debu inilah yang dapat menjadi bahan pembentuk bintang baru. Atas dasar kedua hal itu ia menyimpulkan bahwa bintang selubung adalah populasi tua, dan dalam populasi itu warga bintang normal yang biru, massif dan cepat terbakar telah musnah. Warga yang tersisa hanyalah bintang normal kecil yang berwarna merah atau kuning. Di antaranya sejumlah kecil bintang raksasa merah abnormal merupakan bintang paling massif yang tertinggal dalam kumpulan itu, dan dikatakan abnormal karena bahan bakarnya mulai habis. Baru setelah bintang-bintang itu sudah menyusul kerabatnya yang lebih massif kedalam keadaan mati, kelompok bintang selubung berikutnya yang kurang massif pada gilirannya menjadi tua (bintang ini akan menjadi raksasa merah zaman itu), dan demikianlah akan berjalan selama jutaan tahun hingga bintang-bintang selubung yang paling akhir, paling kecil massanya, dan paling panjang umurnya, memasuki ambang kematian, dan akhirnya padam. Maka selubung pun akan menjadi gelap gulita.

     Berbeda dengan bintang selubung, bintang piringan dikelilingi oleh bahan mentah bintang. Bagian terbesar bahan bintang itu terkandung dalam pusaran gas dan debu di lengan spiral piringan. Menurut pengamatan Baade, bintang sepanjang lengan spiral itu pada umumnya lebih biru dan lebih cemeralng, jauh lebih masif dan lebih cepat terbakar daripada bintang mana pun dalam galaksi. Maka disimpukannyalah bahwa bintang itu niscaya bintang muda, dan kelompok bintang piringan pada umumnya adalah populasi campuran yang terdiri dari bintang cukup muda, dan terus-menerus ditambah dengan bintang berbagai ukuran yang baru lahir dari kabut gas dan debu purba. Akibatnya, populasi bintang piringan pastilah terdiri dari bintang-bintang berbagai tipe dan umur: bintang muda yang biru dan masif, bintang muda sampai setengah baya yang berbobot sedang, dan bintang muda sampai tua yang ringan.

     Konsep Baade tentang pembagian populasi bintang ternyata merupakan salah satu di antara pemahaman yang cemerlang dan berguna dalam ilmu pengetahuan Abad ke-20. Para pengamat lain, terutama Allan Sandage dari Gunung Palomar, memperbaiki gagasan Baade, dan menerapkannya pada bintang piringan dan bintang selubung Bima Sakti. Pada pengamat itu tidak menyelidiki seluruh populasi selubung sekaligus, melainkan menelaah gugus bulat pada selubung itu secara terpisah. Penalarannya ialah bahwa tidak semua bintang selubung lahir pada waktu yang sama, akan tetapi hampir dapat dipastikan bahwa ribuan bintang dalam sebiah gugus bulat lahir pada saat yang sama. Oleh karena itu mereka mengukur kecerlangan warna ribuan bintang gugus bulat Bima Sakti dan memetakan gugus demi gugus pada grafik warna-kecerlangan. Mereka menemukan bahwa dalam setiap gugus, bintang yang massannya paling kecil jatuh di garis deret utama, tempat berderetnya pelbagai jenis bintang normal; beberapa jenis bintang berbobot sedang jatuh di luar garis deret utama, dan menjadi bintang kelewat cemerlang serta abnormal; akhirnya semua bintang paling masif, yang semula diduga ada, ternyata tak tampak sama sekali. Titik batas, yang di atasnya tidak terdapat bintang normal lagi, berbeda dari gugus ke gugus. Batas itulah yang memberikan petunjuk tentang umur tiap gugus bintang. Beberapa gugus yang agak muda masih mempunyai bintang yang massanya sedikit lebih besar daripada matahari. Gugus lain sudah terlalu tua sehingga mungkin tidak lagi mempunyai bintang normal satupun yang massanya setara dengan massa matahari.


TEKNIK analisa tersebut juga telah diterapkan pada gugus bintang yang terdapat dalam piringan Bima Sakti. Analisa itu mengungkapkan bahwa gugus piringan – atau gugus galaksi, sebutan yang diberikan orang, tetapi mengacaukan – memang merupakan campuran bintang dari berbagai umur, seperti yang diperkirakan Baade. Beberapa gugus piringan – yang menggembara dalam jalur bebas debu dan bebas gas di lengan spiral – hampir seluruhnya tetrdiri dari bintang kecil yang sedikit-dikitnya berumur tiga kali umur matahari. Gugus lainnya yang terdapat di bagian penuh kabut pada lengan spiral terdiri dari bintang masif yang berumur pendek. Gugus bintang semacam ini barangkali baru berumur beberapa ratus ribu tahun. Dalam gugus paling muda, bintang yang massanya paling kecil malah belum mempunyai cukup waktu untuk menyelesaikan proses kelahirannya, dan kedudukannya dalam grafik warna-kecerlangan memperlihatkan bahwa bintang tersebut masih dalam proses pengerutan dari kabut purba. Demikian besarlah perbedaan antara pengaruh massa terhadap laju kehidupan serta kematian bintang, hingga di dalam satu gugus muda terdapat bintang yang masih dalam proses kelahiran, yakni bintang yang massanya paling kecil. Sementara itu sudah ada bintang yang telah mencapai keadaan kelewat cemerlang, abnormal dan berpenyakit tua, yakni bintang yang massanya paling besar.

     Petunjuk statistik evolusi bintang, yang diperoleh dari pengamatan dengan membandingkan dan menghubungkan ciri-ciri bintang pada statistik, telah didukung dengan kuat oleh penghitungan teoretis. Dengan mengikuti langkah Eddington dan para ahli teori yang lebih kemudian, tetapi juga memanfaatkan pengetahuan modern teanaga fisika nuklir serta komputer elektronik yang berkecepatan tinggi, Martin Schwarzschild dari Princeton dan Fred Hoyle dari Cambridge bersama sejumlah ahli teori lainnya secara cermat menghitung kemungkinan hidup bintang yang massanya beraneka macam. Mereka mendapatkan jawaban yang begitu mendekati fakta hasil pengamatan, hingga kelihatannya tidak mungkin para ahli matematika atau pun para pengamat tersebut membuat kesalahan yang terlalu jauh.


Bintang dan Galaksi (www.merdeka.com)
RIWAYAT bintang bermula dengan kelahirannya; peristiwa ini berbeda sedikit dengan kelahiran matahari yang telah diuraikan. Kabut debu dan gas berpusar dalam kantung berkerapatan tinggi, dan muali mengerut di sekeliling satu atau beberapa pusat gravitasi. Dalam suatu kabut padat, banyak pusat dapat membentuk satu bintang tunggal dengan tata planit. Hasil akhirnya tergantung pada kerapatan dan ukuran kabut purba serta kekerasan lintang pukang gerakannya. Para ahli astronomi percaya bahwa mereka melihat bakal bintang yang belum bercahaya dan sedang dalam proses pengerutan di dalam kabut dekat spiral Bima Sakti. Bakal bintang ini nampak sebagai bola gelap dan diliputi oleh kawasan kabut gas dan debu yang kurang padat.

      Jika bakal bintang itu mengerut, kawasan intinya dipanasi oleh pelepasan tenaga gravitasi, yakni panas hasil benturan antara atom yang terdesak ke dalam. Lambat laun panasnya menjadi semakin tinggi hingga hidrogen dalam terasnya mulai berfusi menjadi helium. Mula-mula tidak terlalu sering terjadi fusi nuklir antar atom, dan hanya sedikit tenaga yang dihasilkan. Tetapi sewaktu bintang itu terus mengerut karena bobot tumpukan lapisan luarnya, maka atom di dalam terasnya tertekan makin rapat satu sama lain, berfusi makin cepat dan makin kerap. Kemudian aton tersebut membangkitkan ternaga cukup besar yang mendesak ke luar hingga dapat mengimbangi gaya berat yang mendesak ke dalam. Pada saat itu selesailah guncangannya, dan bintang itu pun mencapai keseimbangan serta menjadi dewasa. Kalau massa bintang itu sangat berat dan gravitasinya pun besar, maka desakan ke dalam berlangsung secara cepat dan kuat; terasnya terpampat secara dahsyat, menjadi kelewat panas, dan meluapkan tenagan fusi yang sangat besar untuk mencegah kehancuran dan keruntuhan lebih lanjut. Sebaliknya, jika massa bintang itu ringan, pengerutan akan berlangsung sedikit demi sedikit dan lambat: atom dalam terasnya tidak terlalu berdesakan dan hanya sekali-sekali berfusi secara kebetulan untuk menahan tekanan gaya berat.

     Bagi bintang dengan massa tertentu, keseimbangan antara gaya berat dan fusi menyebabkan bintang itu terletak di suatu titik pada garis deret utama, dan di titik itulah bintang tersebut akan bertahan selama sebagian besar masa hidupnya. Tetapi pada saatnya, bintang itu akan menghabiskan 10 persen jumlah hidrogen awal, mulai kelewat cemerlang dan menjadi abnormal. Jika bbintangnya panas, biru, massanya besar, pembakarannya pesat, maka hal itu akan terjadi setelah beberapa ratus ribu tahun; jika bintangnya sedang, kuning, massanya sebesar matahari, dengan kepesatan pembakaran sedang, hal itu akan terjadi setelah beberapa milyat tahun; jika bintangnya dingin, merah, ringan, dengan kepesatan pembakaran rendah, hal itu akan terjadi setelah beberapa ratus milyat tahun. Matahari sedang mendekati satu saat itu, tetapi menurut perkiraan, tidak mungkin mencapainya dalam tiga sampai lima milyar tahun lagi. Tanggal tepatnya tidak pasti, sebab tak seorang pun mengetahui dengan tepat berapa jumlah hidrogen yang tersisa di kawasan dalam matahari.

     Krisis yang melanda bintang setelah menghabiskan persentase hidrogen tersebut diakibatkan oleh tertumpuknya abu helium di terasnya. Selama abu itu menumpuk di teras, fusi hidrogen akan berlangsung di kulit cemerlang yang mengelilingi teras. Karena abu tidak mempunyai sumber tenaga dalam, maka bahan ini akan mengerut akibat bobotnya sendiri yang semakin besar. Selama pengerutan itu inti atomnya tertekan dan saling beradu, elektronnya akan terkelupas dari orbitnya, dan tenaga gravitasi pun akan terlepas. Tenaga ini akan menaikkan suhu teras bintang, dan sisa panasnya akan mempercepat tempo reaksi fusi yang berlangsung di kulit sekitarnya. Reaksi primer antar proton – yang penting dalam matahari – tidak banyak dipengaruhi oleh tenaga tambahan itu, tetapi reaksi sekunder, yakni daur karbon, akan cepat meningkat, kemudian menjadi dominan, dan segera menghabiskan sisa warisan bintang itu dengan menghabur-hamburkan tenaganya.


KARENA pengaruh peningkatan radiasi dari dalam, kawasan luar bintang akan mendidih dengan hebatnya dan memuai. Bintang itu membengkak dan kecerlangannya pun bertambah. Tetapi suhu lapisan luarnya akan meurun karena kain jauh terdorong dari tungku pusat di dalam bintang itu. Lalu bintang gembung itu pun akan kelihatan merah dan dingin. Jika massanya sebesar beberapa kali massa matahari, maka bintang itu akan menjadi maha raksasa merah seperti Betelgeuse. Jika massanya setara dengan masa matahari, atau hanya beberapa persen lebih besar daripadanya, maka bintang tersebut akan menjadi raksasa merah atau jingga yang membengkak sedikit. Jika massanya jauh lebih kecil daripada matahari, maka bintang tersebut akan menjadi jenis bintang masa depan yang belum bernama. Bintang itu tidak ayal lagi akan menjadi lebih besar, lebih kemerah-merahan, dan lebih cemerlang daripada sebelumnya, tetapi sekarang belum ada contohnya. Sebabnya ialah karena jangka waktu sejak terbentuknya galaksi sampai sekarang belumlah cukup panjang bagi masyarakat bintang yang berbobot ringan unutk menghabiskan hidrogen sedemikian banyak hingga mulai menggembung.

     Dalam keadaan abnormal dan kelewat cemerlang, sebuah bintang menghabiskan hidrogen dengan kecepatan luar biasa. Penumpukan helium yang tak terbakar di teras bintang menjadi semakin cepat. Bertambahnya abu, betapa pun kecilnya, akan meningkatkan himpitan gravitasi pada teras, dan menaikan suhu yang diperlukan untuk menahan himpitan itu. Selanjutnya, kenaikan panas ini meningkatkan laju fusi maupun terbentuknya abu. Hanya sampai sekianlah berlangsungnya tahap raksasa merah dalam kehidupan bintang.

     Apakah yang terjadi pada bintang yang kira-kira setara dengan matahari sesudah 40 persen hidrogen di terasnya habis dipergunakan? Terasnya mengerut, sampai menghasilkan suhu 110 juta derajat Celcius; pada suhu setinggi ini helium tidak lagi menjadi abu lembam, melainkan bahan bakar aktif.

      Keadaan demikian merupakan saat goyah yang gawat dalam kehidupan bintang, sebab helium terbakar dalam rentetan denyaran, ledakan itu menyebabkan bintang berdenyut serta menciptakan apa yang diamati oleh para ahli astronomi sebagai pasang surut berkalanya kecerlangan bintang. Sementara helium bernyala, dihasilkannyalah abu karbon. Semakin banyaklah karbon yang bertumpuk-tumpuk dalam teras bintang. Teras itu mengerut, dan sewaktu susut, kawasan tempat helium terbakar pindah keluar. Sekarang dua lapisan pada bintang tersebut terbakar sekaligus: sebuah lapisan luar, tempat hidrogen sedang berubah menjadi helium, dan sebuah lapisan lagi, lebih dekat teras, tempat helium sedang berubah menjadi karbon.

     Ini pun bukan akhir gangguan dalam tubuh bintang itu, jika bintang tersebut seukuran dengan matahari atau lebih kecil, pengerutan teras tidak cukup kuat untuk memanasi karbon sampai titik permulaan pembakaran. Namun demikian, pengerutan itu tetap membangkitkan cukup banyak panas untuk memuaikan permukaan luar bintang tersebut. Setelah terdorong jauh-jauh dari tingku bintang, maka kulit luar pun menjadi dingin, dan menggembung ke angkasa, sementara itu, terasnya terus mengerut sampai inti atom-atomnya tergilas hingga mencapai kerapatan semilyar kali kerapatan emas. Bintang seperti ini dikenal sebagai bintang kerdil putih; nampaknya sangat kecil dan sangat redup, namun panasnya mengalahkan matahari.


TERKADANG si kerdil putih tiba-tiba berdenyar, dan menjadi ratusan kali atau jutaan kali lebih cemerlang. Ledakan bintang kecil semacam itu terkenal dengan nama sederhana: nova. Inilah singkatan untuk nova stella, atau bintang baru. Tentu saja nova ini bukan bintang baru sejati, sebab seperti halnya banyak benda dalam astronomi, namannya sudah diberikan lama sebelum benda tersebut dipahami. Bagi pengamat langit zaman dahulu, yang seakan-akan melihat bintang baru tiba-tiba bernyala, pada hal sebelumnya tidak kelihatan, nama tersebut rupanya sangat tepat. Para pengamat yang lebih mutakhir menemukan bahwa beberapa nova merupakan sistim bintang kembar. Maka dari itu beberapa ahli astronomi berpendapat bahwa pentulut ledakan nova yang kadang kala terjadi itu adalah bahan yang terlempar dari sebuah bintang masif. Bahan tersebut menghantam permkaan rekannya si kerdil putih, sekaligus menyediakan bahan bakar baru untuk menyala. Nova akan memudar dalam beberapa bulan atau setahun. Kemudian si kerdil putih itu menyejuk selama milyaran tahun, berubah dari putih menjadi kuning, lalu merah dan kemudian hitam, sampai seluruhnya menjadi sedingin angkasa luar.

     Namun ini belum merupakan nasib terakhir bagi bintang yang massanya lebih dari 1,4 massa matahari, yakni “batas Chandrasekhar“ (angkasa yang dinamakan menurut nama Subrahmanyan Chandrasekhar, ahli astronomi bangsa India yang menghitung angka tersebut). Pada saat kelahirannya, bintang-bintang berat itu bobotnya berkisar antara seberat matahari sampai 40 gerogoti selama jutaan abad, sebab katulistiwa bintang yang bergasing itu melemparkan bahan ke angkasa. Meskipun begitu, bintang yang 10 kali lebih besar daripada matahari atau lebih agaknya tidak akan kehilangan cukup banyak massa. Maka bintang tersebut tidak menyusut ke dalam batas Chandrasekhar, dan tak akan berkembang menjadi kerdil putih. Sebaliknya, bintang itu akan menemui ajalnya dengan cara yang jauh lebih dramatis.

     Sesudah helium mulai terbakar pada bintang yang bermassa besar, reaksi fusi tidak berakihr dengan terbentuknya teras karbon. Sewaktu mengerut, teras bintang tersebut menjadi panas karena himpitannya, dan suhunya menjadi lebih dari 330 juta derajat Celcius, sehingga karbonnya mulai lebur serta menghasilkan abu oksigen yang baru. Teras itu terus-menerus mengerut dan menjadi panas; setiap kali ada kenaikan suhu, teras pun terbakar dan menjadi teras yang lebih berat – sebab abu di dalamnya berubah menjadi neon, meagsium, belerang, dan kemudian menjadi besi. Setiap kali terbentuk teras baru, kawasan bahan teras lama bergerak keluar sambil mendesak lapisan-lapisan yang lebih lama ke arah permukaan. Penyulutan tiap reaksi nuklir baru makin cepat menyusul reaksi yang sebelumnya, sampai abu besi tertimbun di pusat bintang tersebut. Pada saat itu bintang tersebut sedang menyala pada tujuh lapisan yang jeals terpisah satu sama lain, sementara setiap lapisan menyelubungi lapisan di bawahnya bagaikan kulit bawang, dengan urutan lapis demi lapis, dari hidrogen ringan di luar sampai besi berat di dalam.


PADA saat ini bintang yang besar dan berat itu tergantung di langit seperti granat yang kuncinya sudah dicabut. Setelah teras bintang menjadi besi, bintagn pun sudah mencapai akhir kehidupannya yang penuh hasil, dan mulai mengerut lagi. Pengerutan ini terjadi, sebab besi itu – karena kurang tenaga – tidak tahan himpitan lapisan-lapisan di atasnya. Sementara teras mengerut, suhunya membubung. Teras itu memampatkan inti atom menjadi makin ketat dan rapat, sedangkan inti atom yang dirangsang oleh panas itu mencoba bergerak makin cepat. Kejadian sesudahnya berlangsung begitu cepat hingga komputer yang paling rumit pun tak dapat mengikutinya. Setelah mencapai sejumlah besar panas dan tekanan yang tak tertahankan lagi, inti atom dalam teras itu hancur seperti buah anggur dalam penggilingan. Dalam waktu kurang dari sedetik saja terperaslah “sari buah“ inti atom tadi – yakni proton, elektron, neutron dan banyak zarah kecil lainnya. Ketika proton dan elektron berpadu menjadi neutron tambahan, terbentuklah suatu teras neutron baru yang luar biasa padatnya. Teras baru itu tidak cukup besar untuk menahan lapisan-lapisan yang ada di atasnya, sehingga lapisan ini runtuh kedalam, dan menimbulkan panas. Sekarang panas itu menyebabkan lapisan-lapisan terdalam pada bintang itu memuai dengan hebat, mengembung dengan cepat, dan bertabrakan dengan lapisan-lapisan luar yang runtuh. Tabrakan ini melepaskan tenaga yang sedemikian besarnya, hingga lapisan luar pada bintang itu meledak dalam suatu letusan yang kekuatannya tak terhingga.

     Oleh para astronomi modern letusan raksasa seprti itu dinamai “supernova“. Dalam satu galaksi, sebuah sepernova rata-rata terjadi satu kali saja setiap beberapa abad. Tetapi para ahli astronomi dapat melihat cukup banyak galaksi, sehingga setiap tahun mereka dapat menyaksikan beberapa supernova. Mereka telah menemukan bahwa supernova yang paling cerah memancarkan cahaya hampir sebanyak cahaya galaksi itu sendiri, sebab supernova adalah bintang yang meledak untuk terakhir kalinya, dan kecerlangan ledakan itu menyamai kecerlangan ratusan juta matahari.

     Dalam Bima Sakti supernova terakhir dilihat pada tahun 1604, sebelumnya pada tahun 1572, dan lebih dahulu lagi pada tahun 1054. Ledakan supernova pada tahun 1054 itu begitu mengesankan dan menggentarkan para ahli astronomi bangsa Timur pada zaman itu, sehingga mereka meninggalkan catatan yang jelas tentang tempat ledakan tersebut. Dengan memperhatikan bagian yang sama di angkasa, yakni di daerah rasi Taurus, para ahli astronomi kini telah menemukan nebula Ketam, suatu kabut gas yang kacau balau dan sedang mengembang dengan laju 1.300 kilometer per detik. Terasnya sudah runtuh dan tidak menunjukkan ciri-ciri yang terdapat pada bintang biasa, kecuali adanya pemancaran cahaya yang masih cukup banyak, yakni cahaya dari salah satu permukaan yang suhunya barangkali 110.000o C.

     Berabad-abad lamanya tidak ada seorang pun yang megetahui pentingnya kabut seperti nebula Ketam tadi. Kemudian pada tahun 1967, Jocelyn Bell, yang menjadi anggota regu di bawah pimpinan Antony Hewish, seorang pemenang hadiah Nobel, di Universitas Cambridge, mendapati irama denyut yang aneh dalam rekman teleskop radio regu tersebut. Denyutan itu berasal dari angkasa dan iramanya lebih kurang satu kali tiap detik. Dalam beberapa bulan setelah denyut itu ditemukan, lebih banyak denyutan terdengar pada sejumlah observatorium radio di seluruh dunia. Pada tahun 1968 sebuah teleskop radio pertama kal merekam denyutan langsung dari nebula Ketam. Denyutan ini berulang dengan laju yang mengherankan, yakni 30 kali tiap detik. Karena terdorong oleh firasat, dua mahasiswa di Arizona mengarahkan sebuah teleskop optik pada nebula Ketam itu, dan menemukan sebuah bintang aneh yang menyorot-nyorotkan cahayanya seirama dengan denyutan radio. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa bintang dalam nebula Ketam tersebut juga memancarkan sinar X dan sinar gama, semua dengan laju 30 kali tiap detik.

       Yang ditemukan oleh Jocelyn Bell serta diamati oleh para mahasiswa Ariona tadi adalah bintang neutron yang berpusar, yangterkadang juga disebut pulsar. Walaupun konsep tentang bintang neutron telah diolah dengan saksama pada tahun 1930-an, namun tak ada satu bintang pun yang benar-benar dikenali dan diamati sebelum terjadinya penemuan pada tahun 1967 tadi. Bintang neutron adalah bintang kecil yang timbul setelah bintang masif meledak. Dari ledakan ini diwarisinya sebagian terbesar bahan induknya yang berukuran raksasa itu, sehingga kepadatannya mencapai semilyar ton setiap 15 sentimeter kubik. Andaikata bumi dipampatkan serupa itu, garis tengahnya hanya akan berukuran 200 meter. Lapisan paling luar pada bintang neutron itu sangat panas, dan suhunya barangkali lebih dari setengah juta derajat. Tetapi di bawah kawasan ini ada kerak yang lebih dari satu kwintiliun kali lebih kuat daripada baja; memang, kerak ini merupakan bahan terkuat dalam alam semesta. Bintang neutron yang pampat padat tadi mungkin berpusar beberapa ribu kali lebih cepat daripada bintang induknya. Sebabnya sama dengan keadaan seorang penari es yang mula-mula bergasing dengan kedua lengannya terentang, dan pusarannya akan bertambah cepat jika lengannya di dekapkan ke badan. Sewaktu berpusar, bintang neutron tadi berperan sebagai pengumban kosmik. Secara sinambung dilemparkannya ion dan electron dari kawasannya yang terganggu. Zarah yang terlempar ini terjebak oleh gaya magnetic kuat pada bintang tersebut. Gerakannya menjadi lebih cepat, dan ketika mendekati kecepatan cahaya, ditimbulkannyalah radiasi elektromagnetik. Yang oleh para ahli astronomi terdeteksi sebagai denyutan cahaya kasat mata, gelombang radio, sinar gama dan sinar X. bila bintang neutron tepat berjajaran dengan bumi, maka pada setiap pusaran, bintang tersebut memancakan berkas sinar yang menyoroti bumi bagaikan lampu isyarat pada mercu suar.


BINTANG neutron pun mungkin nukan fasal terakhir dalam kisah evolusi bintang. Kebanyakan ahli astronomi mengira bahwa bintang yang massanya 10 kali massa matahari menemui ajalnya dengan jalan sebagai berikut: dengan setiap denyutan dan pusaran, bintang neutron kuhilangan tenaga dan berangsur-angsur melambat. Bintang neutron yang terbentuk dengan ukuran 10 kali massa matahari mulai mengerut akibat tekanan gravitasi. Kemudian neutron-neutronnya demukuan rapat hingga gaya tarik gravitasinya mengalahkan apa saja yang mencoba menceraikannya. Bintang itu dapat terus mengerut sampai menjadi bulatan sebesar kacang, sebesar bola atom, dan secara teoritis malah dapat menjadi bulatan sekecil titik. Pada taraf ini massa yang tersisa tidak membutuhkan ruang lagi; bintang itu sudah tak kelihatan, dan menjadi apa yang disebut lubang hitam, sebab apa pun yang meninggalkan permukaanya harus melebihi kecepatan cahaya. Oleh karena gaya tarik lubang hitam yang begitu berat, maka di dalam lubang itu pun waktu berhenti, sementara di luarnya angkasa terpuntir sedemikian rupa sehingga sama sekali menyelubungi lubang hitam tadi. Dengan demikian dipencilkannya bintang gugur itu dari bagian alam semesta lainnya.


TENTU saja tak ada seorang pun yang pernah melihat lubang hitam. Namun beberapa ahli astronomi percaya bahwa mereka dapat menenali sebuah lubang hitang berdasarkan akibatnya terhadap keadaan sekelilingnya. Secara teoritis, jika sebuah lubang hitam itu merupakan salah satu anggota dua bintang dalam sistim binatng kembar, maka diisapnya gas dari bintang rekannya. Sementara gas berliku-liku menuju lubang hitam itu, maka gesekan yang disebabkan oleh percepatannya menaikkan suhu gas tersebut sampai puluhan juta derajat. Panas yang dahsyat itu menyebabkan gas menyemburkan sinar X tepat sebelum gas itu terjun ke dalam lubang “kemusnahan”. Pesawat antariksa yang dirancang untuk mencari sumber sinar C di langit telah menemukan beberapa gejala yang dapat dianggap sebagai lubang hitam, yang paling banyak memberikan harapan ialah gejala yang nampak dalam tata bintang kembar Cygnus X-1, yakni bintang di “leher” rasi Angsa (Cygnus).

     Cara bintang berpasang dalam tata bintang mejemuk merupakan salah satu ujian berat bagi teori evolusi bintang modern. Sebagaimana mathari dan planit mungkin terbentuk dari sejumlah olakan yang terletak dalam satu kabut gas yang mengerut, begitu pulalah seharusnya cara terbentuknya bintang majemuk – dua bintang, tiga, empat atau bintang majemuk dengan tata planit tebentuk sekaligus dari kabut tunggal. Karena terlahir bersama, semua anggota sebuah tata bintang majemuk haruslah menunjukkan proses menua yang serupa. Pasangan yang massanya sama besar harus mengalami evolusi setara. Bintang yang massanya besar akan lebih cepat mengalami evolusi setara. Bintang yang massanya besar akan lebih cepat mengalami evolusi daripada pasangan yang ringan. Bintang ringan yang berpapasan dengan bintang yang lebih ringan tidak akan memperlihatkan kekuatannya, tidak lebih dari yang diperlihatkan oleh matahari. Pasangan yang kelihatannya tidak serasi, seperti bintang Sirius dan Procyon di rasi Anjing, terdiri dari bintang normal yang berpasangan dengan si kerdil putih. Pasangan ini tidak mempunyai masalah yang berarti. Bintang kerdil putih ini dapat diterangkan sebagai bagian bintang massif yang mengalami evolusi secara pesat, dan telah melepaskan kelebihan massanya serta menjadi terak, sementara sekutunya yang ringan sama sekali belum memperlihatkan ketuaannya.

     Walaupun gagasan tadi tampak serba muluk dan tidak ilmiah, salah satu kekosongan dalam teori modern tentang evolusi bintang ialah tiadanya petunjuk yang menyatakan adanya kehidupan di sekitar bintang lain. Kabut gas purba telah berubah menjadi berbagai tata bintang; antara lain gugus ratusan bintang seperti gugus Hyades atau Pleides, kembar enam seperti Castor, kembar identik seperti bintang Luyten 726-8, kembar tidak identik seperti Sirius di rasi Anjing dengan kerdil putih pasangannya yang dinamakan “Anak Anjing”. Masih ada banyak tata bintang lagi yang pasangannya tidak Nampak dan hanya terdeteksi dari pengaruh gravitasinya. Tata seperti itu mungkin berupa bintang tunggal atau kembar, tergantung apakah pasangannya itu berupa bintang atau planit. Ada keyakinan yang semakin kuat bahwa kebanyakan binatng mempunyai planit. Planit ini lahir bersama bintang dari kabut gas yang sama, melalui satu proses kelahiran kembar. Karena semua bintang mempunyai zona yang dapat dihuni, dan pada zona itu air dapat dimanfaatkan sebagai air, gas dapat dijadikan atnosfir, dan radiasi dapat diterima dalam bentuk gelombang pemanas, maka para ahli astronomi tidak ragu-ragu lagi, bahwa kehidupan seharusnya dapat berkembang pada beberapa juta bintang di antara 100 milyar bintang Bima Sakti. Memang, menurut perhitungan mereka, haruslah terdapat satu tempat kehidupan dalam tiap 1.500 tahun cahaya kubik.


WALAUPUN hokum umum evolusi bintang mengatakan bahwa “makin kecil bayinya, makin panjang hidupnya”, namun cadangan bahan bintang sampai yang paling kecil pun, yang idpakai dengan sangat hemat, lambat laun akan habis juga. Dalam kabut gas Bima Sakti, untuk sementara masih akan terbentuk bintang lagi, tetapi kabut itu sendiri pada suatu saat akan habis, meskipun kerap kali diisi lagi dengan gas dan debu semburan bintang yang menggembung, berdenyut atau meledak. Apabila Bima Sakti purba itu seluruhnya terdiri dari hydrogen, sebagaimana diperkirakan oleh kebanyakan ahli astronomi, maka matahari ini berserta seluruh persediaan unsure berat yang ada di dalam tubuhnya haruslah merupakan bintang generasi kedua, ketiga atau mungkin keempat yang lahir dari gas yang telah diperkaya oleh sisa bintang raksasa pada zaman dahulu, tetapi raksasa itu sendiri telah musnah tepat pada waktu terbentuknya galaksi.

     Bintang yang muncul di pentas lebih kemudian memulai mas hidupnya dengan persentase hydrogen lebih rendah bila dibandingkan dengan matahari, dan persentase unsure lainnya lebih tinggi. Lambat laun bahan baku yang belum terpakai dalam Bima Sakti sebagian besar akan terdiri dari helium, sehingga bintang yang baru terbentuk dari helium tadi – walaupun juga dikenal sebagai bintang – pastilah akan melompati masa pembakaran hydrogen dalam evolusinya, dan menuju kematian menurut jalannya sendiri. Kemudian dalam Bima Sakti sama sekali tidak aka nada bintang baru, juga tidak ada supernova lagi atau bintang massif yang dahulu merupakan warga spektakuler dalam galaksi ini. Bintang-bintang raksasa – beserta bagian tubuhnya, yakni bintang neutron yang bernama pulsar – sudah akan runtuh menjadi lubang hitam. Gugus bulat pada selubung galaksi tentu sudah lama musnah di dalam kegelapan. Dalam piringan galaksi, bintang-bintang kelas bulu yang umumnya sudah ratusan milyar tahun masih bertahan dalam memancarkan sinar inframerah, tetapi sinarnya mejadi semakin pudar, seraya padam satu demi satu.

     Selama masa yang panjang, hampir tidak berkesudahan, Bima Sakti akan meredup sambil mengeluarkan sedikit panas, yakni sewaktu bintang-bintang kerdil putih menghabiskan sisa hidupnya dan menjadi kerdil hitan yang tak mampu lagi mengusahakan lebih banyak tenaga untuk menerangi sudut alam semesta yang ditempatinya. Bersama dengan reaknnya yang juga tak tampak, si kerdil hitam itu akan bersemayam selamanya di angkasa – kecuali jika bangkai-bangkai bintang itu tersapu menjadi satu lubang hitam yang paling besar, yakni lubang hitam yang terbentuk oleh runtuhnya alam semesta sendiri.





Post a Comment

0 Comments